Disetiap momentum elektoral Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), selalu saja diiringi dengan isu yang bersifat kontroversial. Bahkan tak jarang isu tersebut sengaja diproduksi sebagai alat untuk saling menyerang satu sama lain. Salah satu isu yang muncul menjelang Pilkada serentak gelombang ketiga yang jatuh dibulan juni tahun 2018 nanti, adalah soal “Calon Impor”. Dalam pengertian yang lebih luas, diksi “calon impor” ini bermakna dikotomi antara calon yang berasal dari luar dan di dalam daerah, pendatang dan non pendatang, pribumi dan non pribumi, putra/putri dan bukan putra/putri daerah, hingga ke orang asli dan bukan orang asli daerah.
Ihwal “Asli”
Tulisan ini bukan untuk melacak genealogis atau asal-usul siapa orang Indonesia asli yang sebenarnya. Tetapi ingin berupaya mendudukkan tafsir orang Indonesia asli dalam dinamika kesejarahan konstitusi kita. Pemahaman tentang orang indonesia asli ini, juga akan membuat kita lebih mudah mengartikulasi makna “calon impor”, isu yang sedang dibahas dalam tulisan ini. Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dengan naskah original, menyebutkan bahwa “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Harus dipahami bahwa frase “orang Indonesia asli” tersebut disusun berdasarkan suasana kebatinan para penyusun konstitusi (framers of the constitution) kita ketika itu yang sedang berhadap-hadapan dengan penjajah.
Artinya, frase “orang indonesia asli” dalam konstitusi ketika itu dimaksudkan agar bangsa asing yang menjajah kita, tidak menjadi presiden Indonesia. Dengan demikian, semangat kemerdekaan dapat terpelihara dengan utuh. Namun demikian, ketentuan ini tentu saja berlaku sementara waktu saja. Mengingat UUD 1945 adalah konstitusi kilat (revolutie grondwet), yang tentu saja perlu disempurnakan dimasa yang akan datang. Dan ini terbukti ketika dalam perjalanan historis, Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950, tidak lagi mencantumkan frase “orang Indonesia asli” sebagai syarat presiden. Semangat ini pula yang mendasari amandemen UUD 1945 yang pada akhirnya menghilangkan frase “orang Indonesia asli” sebagai syarat menjadi presiden republik Indonesia.
Hak Konstitusional
Lantas bagaimana dengan Pilkada? Apakah ketentuan harus asli orang daerah itu berlaku? Apakah “calon impor” itu diperbolehkan berdasarkan asas dan norma yang berlaku di negara kita? Prinsipnya, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih. Ini adalah hak konstitusional yang dibunyikan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dan jika kita lacak dalam ketentuan dan syarat pencalonan Kepala Daerah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 maupun dalam PKPU Nomor 3 Tahun 2017, maka kita tidak akan menemukan syarat itu.
Satu-satunya norma yang mengatur ketentuan mengenai orang asli sebagai syarat pencalonan, terdapat dalam Pasal 12 huruf a UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dimana disebutkan bahwa yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah orang asli Papua. Pengertian orang asli Papua sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 huruf t, yakni orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Syarat orang asli Papua inipun hanya berlaku ditingkat Provinsi. Sedangkan ditingkat Kabupaten/Kota, syarat ini tidak berlaku. Konteks lahirnya ketentuan di Papua ini juga tidak lepas dari kekhawatiran akan ancaman disintegrasi. Pada akhirnya kompromi menjadi pilihan dengan mengakomodasi kekhususan yang ada di Papua. Ini bisa kita baca dari konsideran menimbang huruf d dalam UU tersebut.
Pilkada Bermartabat
Penggunaan diksi “calon impor” jelas adalah pengingkaran terhadap hak konstitusional warga negara. Untuk itu, perdebatan soal “calon impor” harus dihentikan. Jika makna “harus orang asli daerah” diterjemahkan sebagai harapan bagi para calon agar memiliki pemahaman dan pengetahuan yang memadai terhadap kebudayaan dan kearifan lokal daerah (local wisdom), itu bisa diterima. Tentu saja dengan catatan, disampaikan dengan artikulasi pesan yang baik. Bukan dengan cara menonjolkan identitas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Jadi lebih baik, menanggalkan isu “calon impor” ini dan beranjak ke wilayah diskursus yang lebih urgen, agar tujuan pilkada dapat kita raih dengan cara yang bermartabat. Sebab pilkada sesungguhnya merupakan ajang pertarungan ide dan gagasan, kontestasi visi-misi, rekam jejak dan program. Hal ini jauh lebih substansial dibanding larut dalam perdebatan “calon impor”.
Pilkada seharusnya dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan politik (political education), bukan menabur benih keretakan. Kita harus membangun budaya Pilkada yang mengedepankan politik kebangsaan. Politik yang bersandar kepada cita-cita persatuan antar semua elemen bangsa. Politik yang bekerja atas nama kemanusiaan dan persamaan hak, tanpa terkecuali. Politik yang menjunjung tinggi dan menghargai perbedaan satu sama lain. Sebagaimana pesan Sukarno menjelang pelaksanaan Pemilu tahun 1955, “Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke”. Dan pesan inilah yang harus kita disalurkan menjadi energi positif dalam setiap momentum Pilkada.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Kaltim Post, edisi Jum’at 15 Desember 2017.
Leave a Reply