Diskursus mengenai dana aspirasi, sesungguhnya telah lama diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Bukan karena dana aspirasi dianggap sebagai cara yang efektif untuk berkomunikasi dan mengakomodasi kepentingan konstituen (pemilih), tetapi karena dana aspirasi dianggap begitu rawan dengan praktek tindak pidana korupsi. Faktualnya, telah banyak kasus-kasus korupsi yang terkuak dari usulan dana aspirasi ini. Sebut saja kasus dana aspirasi yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Mulai dari kasus Damayanti terkait dengan pembangunan jalan Tehoru-Laimu Maluku Utara senilai 41 miliar, kasus I Putu Sudiartana terkait dengan proyek pembangunan jalan di Sumatera senilai 300 milliar, hingga kasus Yudi Widiana terkait pembangunan jalan dan jembatan di Maluku dan Maluku Utara senilai 140,5 miliar. Kejadian yang sama juga berlangsung di daerah. Beragam kasus korupsi dana aspirasi melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Di Sulawesi Barat, kasus korupsi dana aspirasi melibatkan 4 (empat) orang mantan pimpinan DPRD Provinsi Sulawesi Barat. Keempatnya diduga terlibat kasus dugaan korupsi dana aspirasi dalam APBD Provinsi Sulawasi Barat senilai 360 miliar lebih. Demikian juga yang terjadi di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan, kasus dana aspirasi dengan nilai kerugian 23 miliar, melibatkan tidak hanya anggota DPRD, tetapi juga dari kalangan pemerintahan.
Politik Transaksional
Dana literatur politik, dana aspirasi acap kali disamakan dengan politik gentong babi atau Pork Barrel Politics di Amerika Serikat dan dana pembangunan konstituen atau Constituency Development Fund di beberapa negara-negara berkembang. Istilah-istilah tersebut berangkat dari akar sejarah dan latar belakang yang berbeda, tetapi memiliki kemiripan dalam prakteknya. Secara historis, pork barrel politics lahir dari tradisi sistem politik Amerika Serikat yang mengacu pada pengeluaran politisi untuk kepentingan konstituennya sebagai imbalan atau balas jasa atas dukungan politik dalam kampanye dan pemungutan suara pada pemilihan umum (general election). Sementara constituency development fund adalah sejenis desentralisasi anggaran dari pusat ke daerah yang berbasis konstituen. Jadi pendekatannya lebih bersifat lokal berdasarkan daerah pemilihan. Pada awalnya, constituency development fund lahir dan berkembang di India, namun begitu populer dan banyak diadopsi oleh negara-negara berkembang lainnya, setelah prakteknya dianggap sukses di Kenya. Pork barrel politics di Amerika Serikat sendiri, hingga kini terus mengundang kontroversi dan banyak mendapatkan penolakan karena dianggap sebagai tindakan yang bersifat transaksionalnya.
Baca juga : Politik Tanpa Korupsi
Di Indonesia, usulan dana aspirasi dimulai sejak tahun 2010 silam. Namun karena tidak memiliki dasar hukum dan dianggap melampaui kewenangan DPR sebagai lembaga pengawas pemerintah (bukan pengusul dan pembuat program), maka usulan tersebut ditolak oleh Pemerintah. DPR tetap tak bergeming. Maka dicarikanlah celah hukum bagi dana aspirasi ini dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Dalam Pasal 80 huruf j UU MD3 tersebut, disebutkan bahwa, “anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan”. Secara teknis, pengaturan dana aspirasi ini kemudian diatur melalui Peraturan DPR Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengusulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan. Jadi memang, tidak ada nomenklatur “dana aspirasi” dalam lalu lintas anggaran, yang ada adalah “Program Pembangunan Daerah Pemilihan”. Namun lagi-lagi usulan dana aspirasi ini ditolak oleh Pemerintah dengan argumentasi yang sama, yaitu : Pertama, meskipun memiliki dasar hukum melalui UU MD3, namun dalam proses pembentukannya, dianggap tidak terbuka dan partisipatif. Kedua, tidak sesuai dengan visi dan misi Pemerintah. Dan Ketiga, usulan dana aspirasi ini lebih mirip pork barrel politics atau constituency development fund yang lebih bersifat transaksional.
Modus Korupsi
Bagaimaan dengan Kalimantan Timur (Kaltim)? Pembahasan dana aspirasi sendiri, bukanlah hal baru di DPRD Kaltim. Pada tahun 2017 silam, para anggota DPRD Kaltim juga terlibah kisruh yang diduga akibat pembagian dana aspirasi yang tidak merata. Isu hujan tak merata ini muncul pasca penetapan APBD Kaltim tahun 2017. Dari total 388 miliar yang disebut dana aspirasi bagi 55 anggota DPRD Kaltim, terdapat selisih yang cukup signifikan diantara anggota. Berkembang kabar jika seorang anggota DPRD menerima 2 miliar, sementara ketua fraksi kebagian 9 miliar. Jumlah tersebut tentu saja lebih besar lagi bagi unsur pimpinan DPRD. Dana aspirasi ini kemudian kembali jadi polemik pada saat pembahasan APBD-Perubahan Kaltim tahun 2018 ini. Lagi-lagi, dana aspirasi dicurigai sebagai pundi-pundi modal anggota DPRD berbalut kepentingan konstituen. Namun lagi-lagi pula kita harus menegaskan bahwa, dana aspirasi itu sangat rawan korupsi. Dana aspirasi ini dianggap rawan korupsi, bukan hanya karena banyaknya kasus-kasus korupsi berlabel dana aspirasi, tetapi juga karena dalam prakteknya mengandung banyak masalah, antara lain :
Baca juga : Korupsi Sumber Daya Alam
Pertama, potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dalam konteks ketatanegaraan, DPRD itu kan sebenarnya memiliki fungsi budgeting dan pengawasan. Tetapi mesti dipahami, DPRD dalam hal ini hanya terbatas kepada pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, bukan menentukan program dan pos pendanaan sendiri. Disinilah titik rawan korupsinya, dimana perbuatan yang melampau tugas dan kewenangannya, dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Kedua, dasar hukum. Betul bahwa dalam UUD MD3, dana aspirasi diatur dengan nama Program Pembangunan Daerah Pemilihan. Tetapi mesti kita ingat bahwa pengaturan dalam UUD MD3 tersebut, tidak otomatis (ex-officio) berlaku di daerah. Ketiga, membuka ruang transaksi antara anggota DPRD dengan konstituen, atau antara anggota DPR dengan Pemerintah melalui Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Karakter politik transaksional, umumnya selalu menghadirkan “imbalan” atas perbuatan yang dilakukan. Ini pula yang berlaku dalam kasus dana aspirasi ini, dimana keberhasilan memperjuangkan program di daerah konstituen ataupun ditingkat OPD Pemerintah, dapat berujung balas jasa berupa suap ataupun gratifikasi.
Baca juga : Jejak Sejarah Budaya Korupsi di Indonesia
Keempat, dana aspirasi umumnya diberikan secara gelondongan, tanpa dibuka secara transparan terkait kegiatan apa yang akan dilakukan. Bahkan anggota DPRD cenderung diminta untuk menentukan sendiri program apa yang akan diusulkan. Implikasinya ada 2 (dua), yakni sulit diawasi oleh publik, dan tentu saja memperbesar ruang tindakan manipulasi dan kegiatan fiktif berbalut kebutuhan konstituen. Kelima, dana aspirasi ini menjadi sasaran empuk bagi para calo anggaran. Tidak hanya anggota DPRD an sich yang terlibat dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi, tetapi juga para calo anggaran yang menghubungkan antara konstituen dan anggota DPRD. Keenam, lalu lintas penerima hibah dan bansos yang cenderung tidak ketat dari hulu ke hilir, dari proses seleksi hingga laporan pertanggungjawaban keuangan, sehingga memudahkan dijadikan sebagai bancakan. Di Kaltim, kita sama-sama tau, begitu banyaknya kasus korupsi dari penggunaan hibah dan bansos ini. Dan selain program OPD, dana aspirasi umumnya juga dikonversi menjadi dana hibah dan bansos di daerah konstituen. Ketujuh, anggaran menjadi makin rentan dijadikan bancakan akibat dekatnya momentum elektoral Pemilu 2019. Ini mungkin faktor musiman, tapi tidak kalah pentingnya. Politik biaya tinggi, membuat semua orang berlomba-lomba mencari modal politik, bahkan dengan menghalalkan segala cara.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Bontang Post, Edisi Senin 01 Oktober 2018.
Leave a Reply