Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah lembaga baru hasil amandemen konstitusi yang menandai pergeseran model parlemen Indonesia, dari sistem satu kamar (unikameral) menjadi sistem dua kamar (bikameral). Setidaknya ada 2 (dua) yang melatarbelakangi lahirnya DPD. Pertama, DPD sebagai kamar kedua, diharapkan menjadi kontrol dan penyeimbang (check and balances) terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai kamar pertama. Terlebih DPR adalah lembaga yang sarat dengan kepentingan partai politik. Kedua, DPD merupakan representasi keterwakilan daerah di parlemen yang diharapkan mampu mendorong dan memperjuangkan kepentingan daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah.
Sejak kelahirannya, DPD dianggap belum memberikan kontribusi signifikan, khususnya menyangkut fungsinya untuk memperjuangkan kepentingan daerah. Beragam alasan mencuat, mulai dari fungsi DPD yang dianggap sumir, hingga kewenangan DPD yang bersifat terbatas (limitatif). Ada kesan, DPD masih dianggap terlalu inferior dihadapan DPR. Untuk itu, berkembang usulan amandemen kelima konstitusi, dimana salah satunya bertujuan untuk memperkuat fungsi dan kewenangan DPD. Namun ditengah upaya mendorong penguatan peran DPD ini, terjadi fenomena migrasi massal anggota DPD ke partai politik. Bahkan ada keinginan untuk melegitimasi keanggotaan DPD yang berasal dari partai politik kedalam RUU pemilihan umum yang saat ini sedang dibahas.
Parpolisasi
Migrasi massal anggota DPD ke partai politik, dianggap banyak kalangan sebagai manuver politik anggota DPD. Lantas apa yang mendasari sikap ini? Apa sesungguhnya yang dicari? Ada 2 (dua) alasan yang berkembang perihal migrasi massal anggota DPD ke partai politik ini. Pertama, sebagai jembatan aspirasi. Partai politik dianggap ruang yang tepat untuk menguatkan aspirasi dan kepentingan DPD. Alasan ini tentu Nampak tidak cukup rasional. Terkesan tidak lebih dari pembenaran terhadap manuver politik yang dilakukannya. Memang benar anggota-anggota DPD membutuhkan banyak dukungan untuk memperjuangkan kepentingan daerahnya masing-masing. Termasuk dalam memperkuat fungsi dan kewenangannya. Tetapi dengan menjatuhkan pilihan untuk bergabung ke partai politik, ini jelas merupakan langkah keliru. Mereka lupa dengan mandat rakyat di daerahnya untuk memperjuangkan kepentingan daerahnya secara mandiri dan independen, tanpa campur tangan partai politik. Logikanya, bagaimana mungkin anggota DPD ini dianggap merepresentasikan kepentingan daerahnya masing-masing, jika baju yang digunakannya adalah baju partai politik.
Kedua, tidak ada aturan yang melarang anggota DPD bergabung ke partai politik. Jadi sah-sah saja menurut mereka. Ini seperti melontarkan lelucon yang sama sekali tidak lucu. Mungkin mereka lupa dengan pameo yang mengatakan bahwa “terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan, senantiasa selalu tertinggal dan terbelakang dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat“. Secara prinsip, anggota DPD yang berasal dari partai politik, bukanlah hal yang dibenarkan meski pada satu sisi belum menjadi aturan hukum resmi (legal norm). Karena secara konstitusional, sebagaimana dibunyikan dalam Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, keanggotaan DPD disyaratkan harus berasal dari perseorangan, bukan dari partai politik. Mungkin ini yang luput dari pembuat undang-undang. Tetapi justru munculnya fenomena migrasi anggota DPD ke partai politik ini, seharusnya menjadi alasan yang kuat untuk mengatur larangan anggota DPD berasal dari partai politik, ke dalam RUU pemilihan umum yang sedang dibahas. Bukun justru sebaliknya.
Implikasi
Fenomena migrasi massal anggota DPD ke partai politik, tentu saja memberikan dampak yang bisa dikatakan sebagai sebuah kemunduran dalam berdemokrasi. Berikut beberapa alasan yang menguatkan pernyataan ini. Pertama, rawan intervensi. Keanggotaan DPD yang berasal dari partai politik, tidak bisa dipungkiri akan menguatkan intervensi partai politik terhadap kebijakan DPD, baik secara kelembagaan maupun secara personal. Fakta ini kian menambah daftar betapa besarnya hasrat partai politik merambah kekuasaan ke berbagai lembaga Negara. Tidak hanya berupaya masuk ke dalam DPD, tetapi pada saat yang bersamaan juga diwacanakan akan kembali masuk ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dan soal yang paling besar adalah kemandirian dan independensi kelembagaan. Sulit membayangkan bagaimana kebijakan suatu lembaga ketika kendali utama berada ditangan partai politik.
Kedua, mengacaukan sistem. Jika kenggotaan DPD diperbolehkan berasal dari partai politik, maka jelas akan mengacaukan sistem parlemen kita. Kekacauan ini setidaknya berkaitan dengan 2 (dua) hal, yakni : Pertama, akan merusak sistem desentralisasi dan otonomi daerah. Akan sangat sulit mengatakan DPD sebagai representasi daerah jika keanggotaanya berasal dari partai politik. Kedua, fungsi DPD sebagai penyeimbang DPR akan menjadi absurd. Tidak akan ada garis demarkasi yang tegas antara DPD dan DPR, akibat keduanya sama-sama berasal dari partai politik. Walhasil, sistem dua kamar (bikameral) dimana DPD seharusnya berfungsi sebagai kamar kedua, menjadi tidak berarti sama sekali. Lantas buat apa DPD dibentuk?
Solusi yang paling tepat, tentu saja melalui perbaikan regulasi. Dimana dalam pembahasan RUU pemilu yang sedang berlangsung, harus menegaskan bahwa syarat keanggotaan DPD harus berasal dari kalangan non-partai politik. Dengan demikian, disaat anggota DPD mendaftar menjadi anggota partai politik, maka harus mengundurkan diri dari keanggotaan DPD. Disamping itu, terdapat kebutuhan untuk memperkuat fungsi dan kedudukan DPD. Karena pada prinsipnya, DPD adalah lembaga yang memiliki tingkat legitimasi yang tinggi, tetapi tidak diimbangan dengan otoritas kewenangan yang memadai. Jika hal ini tidak mampu dijawab, maka kedepan akan banyak migrasi massal serupa sebagaimana yang terjadi sekarang. Bahkan tidak mungkin berubah menjadi frustasi politik.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, edisi Selasa 4 April 2017. Dapat dibaca di Sini.
Leave a Reply