Setelah kerontakan ekonomi global melalui gelombang krisis yang terjadi di penghujung tahun 2008 lalu, berbagai pola dan cara tengah dirancang oleh Negara-negara Imperialis untuk keluar dari krisis tersebut. Mulai dari peguatan nilai tukar standar perdangan internasional, hingga reformasi forum/badan dan lembaga-lembaga keuangan internasional, dalam hal ini IMF, World Bank, WTO, dll. Namun dibalik semua itu, kita tentu saja tidak boleh terjebak dengan topeng reformasi ini. Hal tersebut tidak lebih dari sandiwara Kapitalisme Global untuk kembali menipu dengan sejuta kepura-puraan. Pada akhirnya, toh Negara dunia ketigalah yang menjadi korban dan harus menanggung krisis ini, termasuk Indonesia sendiri.
Putaran pertemuan G-20 Seoul, Korea ini sendiri menyepakati 4 hal utama sebagai komunike bersama, yakni : Pertama, semua negara anggota berjanji untuk memperkuat peran G-20 dalam menghadapi risiko dan tantangan baru di sektor keuangan internasional. Kedua, para pemimpin G-20 sepakat untuk lebih mempromosikan reformasi lembaga keuangan internasional, dan menegaskan perubahan kuota saham sebesar enam persen untuk negara berkembang di Dana Moneter Internasional (IMF). Ketiga, pemimpin G-20 untuk pertama kalinya membahas masalah pembangunan sebagai topik utama, dan puncaknya mengesahkan rencana pembangunan untuk jangka menengah. Dan Keempat, berdasarkan hasil yang dibuat pada KTT sebelumnya, para pemimpin G-20 sepakat untuk mengintensifkan regulasi di sektor keuangan dan memberantas proteksi perdagangan. Selain itu, para kepala negara mengajukan serangkaian langkah-langkah baru, sehingga akan cukup kondusif bagi perkembangan dan stabilitas ekonomi global dalam jangka panjang[1].
Sepintas, hasil pertemuan G-20 putaran Seoul ini nampak konstruktif dan mengalami kemajuan dibandingkan putaran-putaran sebelumya, khusunya terkait dengan isu reformasi lembaga keuangan serta proyek pembangun berkelanjutan jangka menengah. Akan tetapi sekali kita tegaskan bahwa dibalik kesepakatan forum ini, tersimpan sejuta mata bedil senapan yang siap ditodongkan kepada negara miskin dan berkembang, yang selama ini menjadi korban oleh pusaran kepentingan ekonomi negara maju.
Berbagi Krisis, Berbagi Masalah
Berbagi krisis, demikianlah tontontan yang sedang lakonkan oleh Negara-negara imperialis, khususnya Amerika Serikat. Krisis yang melanda di penghujung tahun 2008 lalu, jelas merupakan buah pahit dari tatanan ekonomi kapitalisme yang tetap dipertahankan hingga saat ini. Kapitalisme sudah terbukti berkali-kali gagal untuk mensejahterakan masyarakat dunia, namun bagi lokomotif penggerak ideologi kapitalisme, ambruknya pasar bukanlah dinilai sebagai sebuah kegagalan. Akan tetapi sekedar kesalahan metode harus diperbaiki dengan segala cara untuk mencapai kesempurnaan, meski harus dengan menebar teror kemiskinan dimana-mana.
Kita tentu masih ingat ketikan periode ke-emasan Negara kesejahteraan (welfare state), ambruk dan digantikan dengan pola ekonomi Neo-liberalisme di pertengahan tahun 80-an. Dan ini pula yang sedang dilakukan untuk mejawab krisis baru hari ini. Merubah seribu macam wajah untuk tetap selamat dari krisis. Namun sekali lagi, justru Negara dunia ketigalah yang menjadi tumbal dan dipaksa ikut untuk menanggung krisis tersebut. Logika sesat memang sedang berlaku, bahwa penyebab krisis adalah jantung kapitalisme sendiri, namun yang dibebankan untuk menjawab krisis, justru korban eksploitasi mereka selama ini, yakni negara-negara berkembang. Kapitalisme memang tidak pernah bertanggung jawab terhadap krisis yang dilahirkannya sendiri. Namun sebaliknya, kapitalisme justru dengan seenaknya mencari kambing hitam terhadap krisis tersebut, yang implikasinya semakin memiskinkan negara-negara dunia ketiga.
Reformasi Semu IMF
Salah satu wacana yang berkembang sejak krisis baru ini lahir, adalah keinginan untuk melakukan reformasi ditubuh International Monetary Fund (IMF), sebagai lembaga donor yang selama ini dipersonifikasikan sebagai Dewa penolong bagi Negara yang terkena krisis. Alih-alih menolong, IMF justru kian memperparah krisis dengan jeratan utang. Korea Selatan sendiri sebagai tuan rumah pertemuan G-20 tersebut, pernah mendapatkan pertolongan IMF disaat krisis yang terjadi pada dekade awal 90-an. Namun yang terjadi justru IMF semakin mengacaukan sistem perekonomian negara yang ditolongnya tersebut[2]. Hal yang sama juga pernah dialami oleh Meksiko ditahun 80-an, Indonesia di akhir 90-an hingga 00-an, serta negara-negara lainnya.
Pada pertemuan puncak G-20 yang berlangsung di Seoul, Korea Selatan tersebut, topik reformasi IMF ini kembali menguat. Dimana sebanyak 6 persen quota suara akan dialihkan dari Eropa dan Amerika Serikat, ke negara berkembang, terutama Asia[3]. Pertanyaannya adalah, mengapa negara maju besikap lunak?. Hal tersebut merupakan upaya negara maju untuk menggandeng negara-negara berkembang, khususnya Asia dalam mengatasi krisis global bersama-sama. Namun prinsipnya, dominasi kekuatan didalam tubuh IMF, tetap menjadi milik negara maju sebagai mainstream utama yang sulit ditembus. Toh, 6 persen quata suara yang akan dialihkan tersebut, juga tidak memiliki arti apa-apa dibandingkan dengan mayoritas suara Negara maju didalamnya.
Maka sudah sangat jelaslah bahwa upaya reformasi ditubuh IMF, tidak lebih dari sebuah kepura-puraan semata. Reformasi ini merupakan bagian dari rencana negara maju untuk menarik perhatian negara berkembang, yang dibungkus dengan topeng demokrasi dan partisipasi yang lebih terbuka di dalam lembaga-lembaga keuangan internasional. Inilah salah satu strategi licik dari kapitalisme. Setiap krisis yang terjadi, selalu berusaha merubah wajahnya sebagai jalan keluar untuk menyelematkan diri dari kiris tersebut. Yang pasti, bahwa cara apapun yang digunakan untuk keluar dari krisis, sejatinya tetap akan melahirkan krisis baru, yang mungkin jauh lebih parah. Ini terbukti dengan periodesasi kapitalisme sejak perang dunia pertama hingga hari ini.
Konflik Di Jantung Kapitalisme
Pertemuan forum G-20 ini juga menandai perang terbuka antara AS beserta sekutu politiknya dengan Cina, sebagai simbolisasi kekuatan ekonomi baru dunia. Dimana pertarungan tersebut terjadi akibat saling tuding diantara kedua negara. AS secara terbuka menyerang Cina terkait dengan perlakuan Negara tersebut terhadap nilai mata uang Yuan, Cina. Barrack Obama dalam sebuah sesi wawancara, sesaat setelah forum G-20 ini ditutup, megeluarkan pernyataan bahwa, “Yuan itu menyebabkan iritasi, bukan hanya bagi AS, melainkan juga mitra dagang Cina yang lain”[4]. AS menganggap bahwa Cina sengaja membuat rendah kurs mata uang Yuan dan menumpuk surplus berupa cadangan devisa lebih dari 2,5 trilyun dollar AS, sehingga produk ekspor Cina jauh lebih murah dari seharusnya.
Ditempat terpisah, Cina membalas tudingan AS tersebut dengan menyatakan bahwa justru pihak AS-lah yang tidak bertanggung jawab terhadap krisis yang terjadi selama ini. Defisit besar anggaran Pemerintah AS dianggap sebagai sumber gejolak pasar selama ini. Kantor berita Xinhua pada hari yang sama juga meliput statement Presiden Cina, Hu Jintao yang meminta AS untuk mengambil tindakan yang bertanggung jawab. Hu menyebut bahwa ketidakseimbangan yang dialami oleh AS, berupa defisit anggaran dan perdagangan yang besar, lebih karena kebijakan ekonomi makro AS yang sangat bergantung oleh Utang, ketimbang mengandalkan tabungan domestik dan penerimaan pajak[5].
Pernyataan AS terkait mata uang Yuan, Cina, jelas menghendaki adanya netralitasi ekonomi berdasarkan kebutuhan pasar. Secara implisit, AS jelas meminta agar cina tidak melakukan proteksi berlebihan terhadap mata uangnya, yang pada sisi lain agar mata uang ditentukan oleh pasar sepenuhnya. Forum G-20 ini menjadi momentum AS untuk memaksa Cina untuk melakukan upaya stabilitas Yuan terhadap pasar, pun demikian menjadi upaya terselubung AS untuk kembali mendongkrak nilai mata uang dollar, termasuk kenaikan rasio terhadap mata uang Euro yang selama ini menenggelamkan AS. Ini terbukti pada saat forum ini berlangsung, sedikit demi sedikit mata uang dollat kian menguat terhadap Euro.
Pertarungan dua kekuatan besar ekonomi ini, tentu saha berimbas terhadap negara berkembang, yang selama ini memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap negara maju. Point penting yang dapat kita peroleh adalah, bahwa tidak akan ada pembahasan serius diforum ini terkait dengan posisi kemiskinan dan pembangunan dunia ketiga, tidak akan ada pula isu-isu sensitif terhadap isu perdangan yang pro terhadap masyarakat dunia. Namun yang ada sejatinya adalah agenda-agenda pertarungan negara maju yang tentu saja dipaksakan menjadi komunike bersama dalam forum G-20 tersebut. Sungguh situasi yang sangat ironi bagi negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia.
Proyek Pasar Bebas Terus Berlanjut
Komunike yang disepakati dipertemuan G-20 tersebut, tentu saja hanya akan mengarah kepada pemenuha kepentingan negara-negara maju. Dan salah satu agenda besar dalam menjawab krisis, adalah memuluskan jalan pasar bebas tanpa batas dan proteksi. Negara berkembang, yang juga ambil bagian di forum tersebut, hampir dipastikan hanya menjadi penggembira saja. Begitupun dengan keberadaan Indonesia, dimana hanya dianggap sebagai pelangkap semata tanpa mampu mengintervensi lebih jauh hasil kesepakatan berdasarkan kepentingan rakyat Indonesia dan dunia ketiga lainnya. Indonesia justru menjebakkan diri. Keberadaan Indonesia di forum G-20 ini, malah terikat kuat terhadap komitmen yang disepakati oleh forum G-20 tersebut. Padahal kesepakatan-kesepakatan yang tertuang di dalam hasil forum ini, tentu saja hanya menguntungkan Negara-negara maju, seperti AS, Cina dan Uni Eropa.
Salah satu aspek penting pasar bebas yang dikehendaki oleh negara maju, adalah dibidang perdagangan. Para pemimpin G20 berjanji tidak akan menggunakan kebijakan proteksionis dan akan berusaha menyimpulkan perundingan liberalisasi perdagangan Putaran Doha yang lama terkendala[6]. Putaran Doha (Doha round) atau yang lebih sering disebut sebagai Doha Development Agenda (DDA), merupakan perundingan perdagangan World Trade Organization (WTO) yang dimulai pada November 2002 di Doha, Qatar. Tujuannya adalah untuk mengurangi hambatan perdagangan di seluruh dunia yang memungkinkan negara-negara meningkatkan perdagangan secara global.
Akan tetapi, agenda-agenda putaran Doha khususnya liberalisasi perdagangan, sekali lagi merupakan keinginan besar dari negara maju untuk secepatnya direalisasikan. Kepentingan ini berdasarkan asumsi bahwa dengan liberalisasi perdagangan tanpa hambatan dan proteksi, merupakan pangsa pasar besar yang luas dalam upaya menjawab solusi krisis hari ini. Namun pada satu sisi, justru semakin memiskinkan masyarakat dunia ketiga. Buruh dan petani hanya akan menjadi santapan empuk bagi agenda besar yang kita sebut dengan Globalisasi atau pasar bebas.
[2] Sumber : Simon Saragih dalam “Reformasi IMF Menguat”. Koran Harian KOMPAS, 13 November 2011 Hal. 11.
Leave a Reply