“Tugas kaum muda adalah melawan korupsi”. – Kurt Cobain.
Peringkat Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK)[1] Indonesia pada tahun 2018, mengalami peningkatan meski hanya 1 poin. Pada tahun 2017, IPK Indonesia berada diangka 37, meningkat menjadi 38 pada tahun 2018. Indoenesia berada diperingkat 89 dari 180 negara dan peringkat 4 ASEAN di bawah Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia[2]. Peringkat IPK Indonesia yang naik turun ini, tidak bisa dijadikan dasar untuk mengukur capaian pemberantasan korupsi selama ini. Bahkan salah besar, jika upaya untuk menaikkan IPK, semata-mata dibebankan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab KPK hanya bagian kecil dari unsur penegakan hukum yang jadi tolak ukur IPK. Penilaian IPK sendiri terdiri dari 9 unsur penting, mulai dari ekonomi, pelayanan publik, demokrasi, partai politik, pemerintahan, hingga penegakan hukum. Faktualnya, diantara unsur penilaian IPK Indonesia, nilai yang paling jeblok adalah soal sistem politik dan demokrasi[3]. Hal ini disebabkan oleh makin maraknya praktek korupsi dalam sistem politik Indonesia. Untuk itu, sistem politik dan demokrasi harus diperbaiki agar kebal dari korupsi, sehingga menghasilkan demokrasi yang berkualitas.
Baca juga : Jejak Sejarah Korupsi Di Indonesia.
Fakta bahwa sistem politik dan demokrasi kita sedang “sakit” bukanlah isapan jempol belaka. Hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) yang dikeluarkan oleh Transparency Internasional, menempatkan lembaga legislatif, dari pusat (DPR-RI) hingga daerah (DPRD), sebagai lembaga terkorup, setidaknya selama 3 tahun terakhir[4]. Hal ini disebabkan oleh 2 faktor. Pertama, kian banyaknya kasus korupsi yang menjerat anggota DPR dan DPRD. Tercatat sebanyak 144 anggota DPR dan DPRD yang sudah dipenjara karena kasus korupsi. Ini belum termasuk ribuan anggota DPR dan DPRD lainnya yang sedang menjali proses hukum dan menunggu vonis pengadilan. Kedua, kinerja DPR dan DPRD dalam menjalankan fungsinya (legislasi, pengawasan dan anggaran) serta upaya pemberantasan korupsi di internalnya yang tidak dilakukan secara serius. Yang ada justru persekongkolan jahat yang berujung tindak pidana korupsi. Bahkan berkali-kali DPR justru mengambil tindakan yang kontra produktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Mulai dari mengusulkan revisi UU KPK yang justru melemahkan lembaga anti rasuah tersebut, hingga penggunaan hak angket terhadap KPK yang terkesan mengada-ada.
Daftar Perkara Korupsi Yang Ditangani Oleh KPK Berdasarkan Jabatan 2004-2017[5]
Jabatan | Jumlah |
Anggota Dewan | 144 |
Menteri/Kepala Lembaga | 25 |
Duta besar | 4 |
Komisioner Lembaga Negara | 7 |
Gubernur | 18 |
Bupati | 71 |
Pejabat Pemerintah | 175 |
Hakim | 17 |
Jaksa | 7 |
Polisi | 2 |
Pengacara | 6 |
Swasta | 184 |
Lainnya | 78 |
Korporasi | 1 |
Total | 739 |
Secara keseluruhan, selain 144 anggota DPR dan DPRD, juga terdapat 25 menteri atau kepala lembaga, 4 duta besar, 7 komisioner, 17 gubernur, 51 bupati dan walikota, 130 pejabat eselon 1 sampai 3, dan 14 hakim, yang sudah dipenjarakan karena kasus korupsi[6]. Dan tentu saja “Partai Politik” adalah pihak yang dituding paling bertanggung jawab, dimana merekalah penyumbang terbesar dari para koruptor ini. Mengenai tipologi kasus atau jenis kasus korupsi yang tangani oleh KPK, penyuapan menempat urutan teratas. Ini tidak mengherankan, jika dikaitkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang memang berasal dari upaya suap menyuap tersebut. Bahkan pada tahun 2018, OTT KPK memegang rekor terbanyak sepanjang keberadaannya, yakni 29 OTT[7].
Daftar Perkara Korupsi Yang Ditangani Oleh KPK Berdasarkan Tipologi Kasus 2004-2017[8]
Tipologi Kasus | Jumlah | Presentase (%) |
Penyuapan | 396 | 58 |
Pengadaan Barang/Jasa | 171 | 25 |
Penyalahgunaan Anggaran | 46 | 7 |
TPPU | 25 | 4 |
Perizinan | 22 | 3 |
Pungutan | 21 | 3 |
Merintangi Proses KPK | 7 | 1 |
Total | 688 | 100 |
Memahami Untuk Membasmi
Pada tahun 2006, atau 4 tahun setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi berdiri, sebuah buku diluncurkan oleh KPK dengan judul “Memahami Untuk Membasmi”[9]. Ini pula yang dijadikan tagline oleh hampir seluruh elemen masyarakat, khususnya yang punya kepedulian dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pesan pokoknya adalah, “mustahil memenangkan pertempuran tanpa mengenali musuh dengan baik, mustahil membasmi korupsi tanpa memamahinya terlebih dahulu”. Ini adalah rumus utama dalam perkara apapun. Bahkan ketika anda mengejar lawan jenis pun, mesti memahami tabiat dan kebiasaannya telebih dahulu bukan? Dia suka makan apa, warna kesukaannya apa, hal yang paling dia benci, dan lain sebagainya. Sebab tanpa informasi yang memadai, sudah pasti taktik dan strategi anda akan menemui kegagalan. Ibarat seorang dokter, maka resep obat penyembuh bagi pasiennya, sangat ditentukan oleh ketepatan diagnosa terhadap penyakit pasiennnya. Diagnosa yang salah, bisa jadi berujung maut bagi si pasien! Karena alasan itulah kenapa kita begitu penting untuk memahami korupsi, sebelum bekerja membasminya. Karena itulah, penting bagi kita untuk memahami bagaimana “anatomi korupsi”, sebagai modal kita untuk melawannya!
Hal pertama yang harus diketahui dalam anatomi korupsi, adalah peristilahan. Apa sesungguhnya yang disebut dengan korupsi itu? Menurut asal kata, korupsi berasal dari Bahasa Latin, yakni corruptio. Kata ini sendiri memiliki kata kerja corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, atau menyogok[10]. Menurut Andi Hamzah[11], dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”. Webster’s Third New International Dictionary, sebagaimana yang dikutip oleh Robert Klitgaard, memberikan definisi korupsi sebagai, “ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestetinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas”.
Robert Klitgaard, memberikan rumusan untuk memahami korupsi sebagai berikut : C = M + D – A. Corruption is Monopoly + Discretion – Accountability. Korupsi sama dengan monopoli ditambah diskresi minus akuntabilitas. Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri memberikan klasifikasi korupsi dalam 7 (tujuh) jenis, yakni : kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.
Darimana Kita Harus Memulai?
Disepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia, peran kaum muda begitu besar. Sebagai contoh, kemerdekaan Indonesia tidak akan diproklamirkan jika tak ada keberanian kaum muda “menculik” Sukarno-Hatta. Atas dasar itulah generasi tua yang cenderung peragu, pada akhirnya mengambil keputusan penting menyatakan kemerdekaan Indonesia melalui proklamasi 17 agustus 1945. Karena itulah optimisme dan idealisme kaum muda kita butuhkan dalam upaya memberantas korupsi. Sebab kata Soe Hok Gie, “makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi”.
Pertama, mulailah dengan membongkar perilaku korupsi dilingkungan Anda, di sekolah, kampus, tempat kerja, dll. perilaku lembaga yang korup, melahirkan karakter individu yang korup pula. Kedua, controlling the power. Kita harus memulai awas terhadap lingkungan sendiri, terutama dimana letak kekuasaan dan kewenangan itu berada. Benar kata Lord Acton, kekuasaan cenderung korup. Ketika seseorang berkuasa, maka potensi menyalahkangunakan kekuasaannya (abuse of power) juga akan semakin besar. Seperti kata pepatah latin, “honores mutant mores”, kekuasan cenderung mengubah prilaku seseorang. Kejahatan terbesar dari seorang yang berkuasa, adalah ketika ia sudah merasa lebih dari orang lain.
Ketiga, follow the money, follow the asset. Dalam segala hal, fokus awas kita tentu saja harus berada di salah satu eipisentrum korupsi, yakni dimana perputaran uang berada. Mulai dari pajak-pajak rakyat, APBN dan APBD, hingga eksploitasi SDA. Keempat, membuka jejaring. Isu korupsi tertanam disemua sektor, mulai dari mahasiswa, perempuan, buruh, petani, rakyat miskin perkotaan, dan lainnya. Agar hantaman pukulan terhadap korupsi itu kuat, maka persekutuan disemua sektor perlu dilakukan. Gerakan yang ekslusif, elitis dan sektarian, nafasnya tidak akan panjang. Kelima, menjadikan rakyat sebagai penyokong utama gerakan anti korupsi. Belajarlah dari KPK, tanpa dukungan rakyat yang massif, mustahil akan bisa berdiri tegak hingga saat ini!
Keenam, dukunglah yang bersih dan punya rekam jejak yang baik dan konsisten terhadap isu anti korupsi. Mereka harus didorong untuk menempati pos-pos kekuasaan yang strategis. Karena korupsi tidak cukup dengan berkampanye, tetapi juga penting untuk bertarung disetiap level struktur kekuasaan. Ketujuh, senantiasa bersikap jujur. Itu prinsip yang mesti kita pegang, meskipun harus berhadap-hadapan dengan kawan atau keluarga sendiri. Tapi itu adalah pilihan dan prinsip yang harus kita pegang. Sebagaimana kata John Lennon, “Bersikap jujur bisa jadi tak membuat kita mendapat banyak sahabat namun akan selalu membuat kita mendapat sahabat yang tepat”.
Materi ini disampaikan di acara Diskusi Musikal Anti Korupsi, Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) Kalimantan Tour 2019, Aula Lantai 3 Rektorat Universitas Mawarman, 09 April 2019. Tulisan ini juga dapat dibaca di Akurasi.id dan Klik Samarinda.
[1] Angka IPK berada skala angka 0-100, dimana semakin tinggi nilai IPK suatu negara mengindikasikan semkakin bersih negara tersebut dari korupsi.
[2] Sumber : https://ti.or.id/corruption-perception-index-2018/. Diakses pada tanggal 4 April 2019 Pukul 10.01 Wita.
[3] Ibid,-
[4] Global Corruption Barometer Tahun 2017. Sumber : http://riset.ti.or.id/global-corruption-barometer-2017/. Diakses pada hari Jumat, tanggal 8 Desember 2017, Pukul 09.00 WIB.
[5] Presentasi Laode M. Syarif, Wakil Ketua KPK yang berjudul, “Potensi Korupsi Sumber Daya Alam”. Disampaikan diacara seminar nasional bertajuk “Demokratisasi Pengelolaan SDA”. Dilaksanakan oleh Habibir Center di Hotel Le Meridien Jakarta, 28 Maret 2019.
[6] Berita Liputan 6. Sumber : http://news.liputan6.com/read/2666380/jokowi-sudah-122-anggota-dpr-dipenjara-karena-korupsi. Diakses pada hari Jumat, tanggal 4 April 2019, Pukul 09.30 Wita.
[7] Sumber : https://nasional.kompas.com/read/2018/12/18/12352721/kaleidoskop-2018-daftar-29-ott-kpk-sepanjang-2018?page=all. Diakses pada tanggal 4 April 2019 Pukul 18.00 Wita.
[8] Presentasi Laode M. Syarif (2019). Op.Cit.
[9] Buku ini dapat didownload di : https://www.kpk.go.id/gratifikasi/BP/buku_saku_korupsi.pdf.
[10] Tim Spora KPK. 2015. Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi. Jakarta : Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang Pencegahan KPK. Hlm. 2. Buku ini dapat di download di link berikut ini : https://aclc.kpk.go.id/wp-content/uploads/2018/05/buku-kapita-selekta.pdf.
[11] Andi Hamzah. 2006. Pemberantasan Korupsi (Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional), Ed. Revisi 2. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 4.
Leave a Reply