Lalu lintas penempatan jaminan reklamasi dan pascatambang yang semrawut, tentu saja membangun persepsi publik mengenai adanya dugaan korupsi. Gejalanya dapat ditangkap dari beberapa hal, diantaranya : Pertama, informasi yang tertutup. Dalam hal ini, data jaminan reklamasi dan pascatambang tidak transparan, dan sangat sulit diakses oleh publik. Informasi yang tertutup, akan memberikan ruang untuk mempermudah aktivitas yang bersifat transaksional. Selama ini, jaminan reklamasi dan pascatambang, ditempatkan dalam satu rekening yang hanya boleh diakses oleh pemerintah dan pemilik tambang. Sementara jumlah atau besaran pembayaran tidak pernah dibuka. Tidak pernah diumumkan berapa rencana produksi dan penjualan sebagai dasar untuk menentukan besaran yang harus dibayar. Jadi tidak covering, dan jangan heran ketika jumlah dana yang terparkir dibank, tidak sebanding dengan lubang yang ditinggalkan. Sebagai contoh, dana yang tersimpan di bank BUMD dan BUMN atas nama gubernur Kaltim saat ini adalah 279 miliar ditambah dana jaminan pascatambang Rp 94 miliar (Sumber : Kaltim Kece). Apakah sebanding dengan 1.735 lubang yang ditinggalkan?
Baca juga : Korupsi Sumber Daya Alam
Kedua, kerusakan lingkungan, terutama yang timbul akibat tidak dilakukannya kewajiban reklamasi dan pascatambang. Tata kelola SDA yang buruk, berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan. Secara empirik, kerusakan lingkungan selalu berbanding lurus dengan tingkat korupsi yang terjadi. Lebih parahnya lagi, keluhan dan protes masyarakat akan kerusakan lingkungannya, cenderung diabaikan. Ed Ayres dari World Watch Institute, dalam artikelnya yang berjudul “The Hidden Shame of the Global Industrial Economy“, menyebutkan bahwa begitu banyak aktivitas industri ekstraktif baik yang bersifat ilegal maupun yang disetujui oleh Pemerintahan korup, yang mengabaikan keluhan dan keberatan penduduk asli. Ibarat kata pepatah, “aures habent et non audient” (bertelinga tapi tidak mampu mendengar). Salah satu keluhan masyarakat yang bertalian langsung dengan penempatan jaminan reklamasi dan pascatambang, adalah hilangnya nyawa manusia dibekas lubang galian tambang. Di Kalimantan Timur, rumah saya sendiri, tempat saya berpijak, rumah besarnya adalah Indonesia, lubang-lubang tambang yang tidak direklamasi itu, sudah membunuh 37 orang yang mayoritas adalah anak-anak (Sumber : Tribun Kaltim). Pertanyaannya adalah, kenapa lubang-lubang tambang itu dibiarkan menganga?
Baca juga : Jejak Sejarah Budaya Korupsi Di Indonesia
Ketiga, ketidakpatuhan hukum. Hingga kini 37 nyawa manusia yang hilang dibekas galian lubang tambang, tidak diproses secara hukum. Dari 37 kasus yang berlangsung sejak tahun 2011 tersebut, hanya satu kasus yang dibawa dan diputus oleh pengadilan. Itupun hanya menyeret security kontraktor, dengan vonis 2 bulan dan biaya perkara 1000 rupiah. Bayangkan, nyawa manusia dibayar dengan 1000 rupiah? Disamping itu, pemegang IUP juga tidak tersentuh. Padahal Pasal 125 UU 4/2009 tentang Minerba, secara eksplisit menyebut bahwa, “Dalam hal pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa pertambangan, tanggung jawab kegiatan usaha pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP atau IUPK”. Bahkan yang paling menyedihkan, kengganan aparat kepolisian memproses kasus-kasus ini karena alasan yang tidak rasional. Mulai dari alasan tali asih, surat pernyataan tertulis orang tua korban, hingga korban adalah penyandang disabilitas. Padahal Convention On The Rights Of Persona With Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas), yang telah diratifikasi oleh Negara kita melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, secara eksplisit menegaskan bahwa tidak boleh sama sekali ada perlakuan yang berbeda dihadapan hukum, kepada para penyandang disabilitas.
Baca juga : Modus Korupsi Sumber Daya Alam Di Lahan Calon Ibu Kota
Dalam kacamata hukum pidana, hilangnya nyawa manusia ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kelalaian/kealpaan (culpa), sebagaimana ketentuan Pasal 359 KUHP, yang menyatakan bahwa “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”. Kealpaan atau kelalaian disini merujuk kepada 2 hal : Pertama, kelalaian akibat tidak dilaksanakannya kewajiban penanggungjawab usaha sebagaimana yang telah diperintahakan undang-undang, khususnya reklamasi dan pascatambang. Artinya, tidak dilakukannya reklamasi dan pascatambang inilah, yang mininggalkan lubang yang kemudian menyebabkan hilangnya nyawa manusia. Kedua, tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian dari penanggungjawab usaha terhadap pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pascatambang. Seperti diketahui, dalam kasus ini tidak ditemukan rambu tanda berbahaya dan pagar pembatas disekitar lokasi kejadian, sebagaimana yang telah diatur dalam Keputusan Menteri Pertambangan Dan Energi Nomor : 555.K/26/M.PE/1995. Disamping itu, jarak lubang tambang juga tidak memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara, yang mengharuskan minimal 500 meter jarak tepi lubang galian dari pemukiman warga. Dalam kacamata hukum administrasi, bahkan konsesi-konsesi pertambangan yang wilayah konsesinya menyebabkan hilangnya nyawa manusia tersebut, tidak diberikan sanksi apa-apa oleh Pemerintah sebagai pemegang otoritas.
Keempat, lemahnya pengawasan. Ketaatan penempatan jaminan reklamasi dan pascatambang, termasuk upaya hukum terhadap pemegang konsesi yang abai dengan kewajiban reklamasi dan pascatambang, adalah bagian dari “gagalnya” pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah. Ada ujar-ujar (maxim) yang mengatakan bahwa, “jika kita membiarkan kejahatan terjadi dimana-mana, lumpuhkan pemgawasnya”. Ibarat KPK sekarang, dilumpuhkan secara sistematis, tentu bertujuan agar para koruptor, teman-temannya koruptor, dan yang akan jadi koruptor dikemudian hari, dalam melakukan kejahatan korupsi secara terbuka dan massif. Memang ada persoalan dengan desain pengawasan terhadap kewajiban reklamasi dan pascatambang ini. Sebagai contoh, Kalimantan Timur dengan 1.404 IUP (679 berstatus CnC), dengan 1.735 lubang (Sumber : Kaltim Kece), apakah masuk akal jika hanya diawasi oleh 38 inspektur tambang? Atau jangan-jangan memang sistem pengawasannya sengaja dibuat selemah mungkin, agar kejahatan korupsinya berjalan aman?
Baca juga : Politik Hukum Sumber Daya Alam
Kelima, tidak ditempatkannya jaminan reklamasi dan pascatambang sebagai bagian dari keuangan negara. Dana jaminan reklamasi dan pascatambang, tidak hitung sebagai bagian dari sistem fiskal keuangan negara (APBN) maupun keuangan daerah (APBD). Padahal dana jaminan reklamasi dan pascatambang itu, dapat dikategorikan sebagai bagian dari keuangan negara berdasarkan ketentuan Pasal 2 huruf g UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyebutkan bahwa, “kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah“. Maka dengan demikian, perusahaan yang tidak membayar dana jamrek, atau oknum pejabat yang menyelewengkannya, dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana korupsi.
Disampaikan dalam diskusi peluncuran laporan “Curang Di Lubang Tambang“, yang ditulis oleh Auriga Nusantara bersama Gerakan Bersihkan Indonesia, 1 April 2020. Isi tulisan ini sebelumnya sudah dimuat dalam ulasan berita Tribun Kaltim. Sumber gambar : kbr.id.
Leave a Reply