Salah satu titik rawan korupsi adalah disektor sumber daya alam (SDA). SDA yang besar, tentu saja menjadi pemantik godaan bagi siapa saja yang memegang dan mengendalikan kekuasaan. Jika SDA ini tidak dikelola dengan baik, niscaya akan dengan mudah diperdagangkan demi kepentingan pribadi dan kelompok. Sektor SDA menjadi bancakan ekonomi yang kerap kali dieksploitasi. Bahkan kuat dugaan, setiap momentum elektoral pemilihan kepala daerah, sumber dananya berasal dari transaksi bisnis perizinan disektor SDA ini.
Pengungkapan sejumlah kasus disejumlah daerah, kian menguatkan betapa rentannya korupsi terjadi disektor SDA ini. Sebut saja kasus pengurusan izin alih fungsi lahan hutan untuk kebun kelapa sawit di Provinsi Riau yang melibatkan Gubernur Annas Maamun, izin usaha pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara yang melibatkan Gubernur Nur Alam, izin usaha perkebunan di Kutai Kartanegara yang diduga melibatkan Bupati Rita Widyasari, hingga yang terakhir izin usaha pertambangan nikel di Konawe Utara yang melibatkan mantan Bupati Aswad Sulaiman.
Melacak Pola
Untuk memahami bagaimana korupsi disektor SDA ini bekerja, tentu saja harus dimulai dengan memahami polanya. Terutama dengan memetakan (mapping) titik-titik dimana proses korupsi itu bermula. Berikut adalah titik rawan potensi korupsi disektor SDA.
Baca juga : Jejak Sejarah Korupsi Di Indonesia.
Pertama, tata kelola perizinan. Pada umumnya, pola korupsi di daerah-daerah yang kaya SDA, biasanya menggunakan lalu lintas perizinan sebagai pintu masuk. Kondisi yang relatif berbeda di daerah yang minim SDA, dimana mark up anggaran lebih banyak digunakan sebagai modus utamanya. Kenapa perizinan? Pertama, karena perizinan memerlukan kuasa dan kewenangan. Hal inilah yang rentan disalahgunakan oleh sipemilik kuasa. Korupsi pada dasarnya bertalian dengan kewenangan. Terlebih jika kewenangan itu tidak terkontrol oleh pengawasan yang memadai. Kedua, perizinan disektor SDA sudah pasti disertai dengan keuntungan eksploitasi dengan jumlah besar. Keuntungan yang besar inilah yang memungkinkan sipenerima izin memobilisasi sumber daya ekonominya untuk melancarkan politik kotor yang menghalalkan segala cara.
Kedua, informasi yang tertutup. Isu keterbukaan informasi, sesungguhnya sudah lama dikampanyekan sebagai bagian tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Sayangnya, ini berhenti ditataran diskursus belaka tanpa mampu diterapkan dengan baik. Faktanya, dalam konteks tata kelola SDA, publik begitu sulit mendapatkan akses terhadap data. Terutama data yang terkait dokumen-dokumen perizinan di sektor SDA. Mulai dari data izin lingkungan (Amdal, UKL-UPL dll), data jaminan reklamasi, data status CnC dan Non-CnC, data pajak, data NPWP dll. Wajar jika belakangan berkembang trend uji akses informasi dihampir semua daerah di Indonesia. Ini akibat akses data yang tertutup.
Ketiga, kerusakan lingkungan. Tata kelola SDA yang buruk, berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan. Secara empirik, kerusakan lingkungan selalu berbanding lurus dengan tingkat korupsi yang terjadi. Lebih parahnya lagi, keluhan dan protes masyarakat akan kerusakan lingkungannya, cenderung diabaikan. Dalam artikelnya yang berjudul “The Hidden Shame of the Global Industrial Economy“, Ed Ayres dari World Watch Institute, menyebutkan bahwa begitu banyak aktivitas industri ekstraktif baik yang bersifat ilegal maupun yang disetujui oleh Pemerintahan korup, yang mengabaikan keluhan dan keberatan penduduk asli. Ibarat kata pepatah, “aures habent et non audient” (bertelinga tapi tidak mampu mendengar).
Keempat, ketidakpatuhan hukum. Hal ini bertalian dengan dua hal. Pertama, dampak dari kerusakan lingkungan yang cenderung dibaikan, baik pada level pengawasan maupun ditingkat penegakan hukumnya. Kedua, kebijakan yang bertentangan dengan aturan payungnya (umbrella act). Sebut saja izin pertambangan yang berada dalam kawasan konservasi. Padahal secara eksplisit Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa, “Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung“. Logikanya, untuk apa mengeluarkan izin di lokasi yang jelas-jelas melabrak aturan?
Kelima, oligarki kekuasaan. Berdasarkan pengalaman empiris, bentuk oligarki tidak hanya terbatas kepada penguasaan minoritas terhadap mayoritas. Tetapi pada saat yang bersamaan, juga mesyaratkan penguasaan terhadap sumber daya ekonomi. Kedua aspek inilah yang melapangkan jalan lahirnya dominasi ekonomi dan politik. Penyebutan tim 11 dalam perkara dugaan gratifikasi dan suap izin perkebunan Bupati Kutai Kartanagera, Rita Widyasari, memberikan petunjuk bagaimana oligarki ini bekerja. Istilah tim 11 ini sendiri dibenarkan oleh komisioner KPK, Basaria Panjaitan. Artinya, ini mengindikasikan bagaimana cara sekelompok minoritas mengendalikan mayoritas pada satu sisi. Dan kontrol terhadap distribusi kekayaan ekonomi melalui kebijakan anggaran, lalu lintas perizinan dan proyek-proyek pemerintah pada sisi lainnya.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Kaltim Post, edisi Senin 27 November 2017.
Download aritikel ini dengan versi PDF di SINI.
[…] Baca juga : Korupsi Sumber Daya Alam […]