Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah secara resmi mengeluarkan surat keputusan pemecatan terhadap 56 pegawai KPK, yang sebelumnya dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Surat Keputusan Nomor 1354 Tahun 2021 itu ditetapkan pada 13 September 2021, dan efektif mulai berlaku pada tanggal 30 september 2021 nanti[1]. Artinya, pemecatan ini mengabaikan temuan Ombudsman[2] dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM)[3], yang sebelumnya menyebut jika dalam pelaksaan tes TWK telah terjadi cacat procedural atau malaadministrasi serta pelanggaran hak asasi terhadap para pegawai KPK.
Lebih parahnya lagi, Presiden bahkan “lepas tangan” dengan tindakan pemecatan ini[4]. Ini sudah diduga dari awal, sebab Presiden sering kali menjadikan putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai satu-satunya tolak ukur sah tidaknya TWK tersebut. Ini yang selalu diklaim oleh Presiden sebagai bentuk “sopan santun ketatanegaraan”[5]. Namun perlu dipahami bahwa kendatipun MK dan MK memutuskan jika pelaksanaan TWK adalah sah, tetapi tidak berarti temuan-temuan pelanggaran berdasarkan laporan Ombudsman dan KomnasHAM, lantas diabaikan begitu saja oleh Presiden.
Dulu, Pemerintah dan DPR begitu “ngotot” menarik KPK ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Hal ini disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang menyebutkan bahwa, “KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Namun dalam polemik pegawai KPK ini, Presiden sebagai penguasa kekuasaan eksekutif justru “lepas tangan”.
Lepas Tangan
Presiden seharusnya mengambil alih kendali perkara ini. Sebab Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah, memiliki kewenangan penuh dalam aspek kebijakan, pembinaan, dan manajemen ASN. Hal ini sebagaimana disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang menyatakan bahwa, “Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN”. Hal ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan PP 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, menyebutkan bahwa, “Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS”.
Memang benar, dalam PP 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS ini terdapat pengaturan mengenai pendelegasian penetapan, pengangkatan, pemindahanm dan pemberhentian PNS kepada kementerian, pimpinan lembaga, kesekjenan lembaga, Gubernur, hingga Bupati/Walikota[6]. Tapi harus diingat, jika dalam menjalankan kewenangan pendelegasian itu ditemukan “masalah serius”, maka Presiden bisa mengambil alih (take over) kewenangan tersebut. Dalam perkara ini, basis masalahnya telah dikonfirmasi oleh Ombudsman dan KomnasHAM.
Secara hukum, Presiden dibenarkan untuk menggunakan sendiri kewenangan yang sebelumnya telah didelegasikan. Dalam ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan), menyebutkan bahwa, “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Bahkan Presiden dapat menarik kembali kewenangan yang telah didelegasikannya, jika organ yang diberikan delegasi, tidak menjalankan kewenangan tersebut dengan baik, sebagaimana tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini disebutkan dalam ketentuan Pasal 13 ayat (6) UU Administrasi Pemerintahan, yang menyatakan bahwa, “Dalam hal pelaksanaan Wewenang berdasarkan Delegasi menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan pendelegasian Kewenangan dapat menarik kembali Wewenang yang telah didelegasikan”. Harus dipahami, jika “pendelegasian” itu bukanlah “penyerahan” kewenangan. Keduanya hal tersebut berbeda.
Presiden Kontradiktif
Publik menagih sikap Presiden terhadap pemecatan 56 pegawai KPK yang efektif berlaku mulai 30 September 2021 nanti. Namun sayang, respon Presiden justru menjauh dari harapan publik. Presiden lagi-lagi memberikan pernyataan yang kontradiktif. Ini bukan pertama kalinya Presiden bersikap kontradiktif. Sebab semakin hari, semakin borok kontradiksi ini terungkap. Bend Bland (2020)[7] menyebut bahwa, “The higher Jokowi rose from his obscure roots, the more his political contradictions were exposed” (Semakin tinggi Jokowi bangkit dari akar politiknya yang samar, semakin kontradiksi politiknya terungkap)[8]. Hal ini sekaligus mengamini pernyataan Robert Caro[9], yang menyebut bahwa, “What I believe is always true about power is that power always reveals” (Apa yang saya yakini selalu benar tentang kekuasaan ialah bahwa kekuasaan selalu mengungkapkan)[10].
Dalam perkara pemecatan 56 pegawai KPK maupun KPK secara umum, begitu panjang barisan pernyataan Presiden yang kontradiktif. Beberapa diantaranya adalah : Pertama, permintaan agar persoalan 56 pegawai KPK jangan ditarik-tarik ke Presiden. Ini jelas merupakan “stempel resmi” terhadap pemecatan pegawai KPK tersebut. Padahal sebelumnya, Presiden justru meminta dengan tegas agar hasil TWK tidak dijadikan sebagai dasar pemberhentian bagi 75 pegawai KPK[11]. Kedua, putusan MA dan MK yang kerap dijadikan satu-satunya pertimbangan bagi Presiden. Bahkan Presiden mengemasnya dengan istilah “sopan santun ketatanegaraan”. Lantas apakah dengan mengabaikan rekomendasi Ombudsman dan KomnasHAM, adalah bagian dari sopan santun yang diklaim Presiden itu?
Ketiga, dulu Presiden, dengan segenap daya dan upaya, memaksa KPK untuk masuk ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif melalui revisi UU KPK. Namun anehnya, disaat persoalan pemecatan pegawai KPK mengemuka, Presiden justru lepas tangan. Ini jelas merupakan fakta jika Presiden masuk dalam kualifikasi manusia yang kontradiktif. Yang pasti, jika Presiden tidak segera bersikap, setidaknya hingga batas waktu 30 September 2021 nanti, artinya Presiden secara sadar dan meyakinkan telah merestui pemecatan pegawai KPK tersebut. Presiden telah memberikan lampu hijau penyingkiran 56 pegawai KPK, kendatipun proses pemecatan tersebut mengandung tindakan malaadministrasi dan penuh dengan pelanggaran HAM.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Disway Kaltim, edisi Jumat 24 September 2021. Sumber gambar : Jawapos.com.
[1] Sumber : https://nasional.tempo.co/read/1506976/eksklusif-ini-isi-surat-pemecatan-pegawai-kpk-yang-diteken-firli-bahuri/full&view=ok.
[2] Sumber : https://nasional.sindonews.com/read/488550/13/ombudsman-temukan-3-pelanggaran-dalam-tes-wawasan-kebangsaan-pegawai-kpk-1626840434.
[3] Sumber : https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2021/8/16/1864/pelanggaran-ham-atas-proses-asesmen-twk-di-kpk.html.
[4] Sumber : https://nasional.kompas.com/read/2021/09/16/11591351/56-pegawai-kpk-dipecat-jokowi-jangan-apa-apa-ditarik-ke-presiden?page=all.
[5] Ibid.
[6] Lihat Pasal 3 ayat (2) PP 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS. Lihat juga ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
[7] Bend Bland. 2020. Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia. Penguin Random House Australia, A Lowy Institute Paper, Australia. Page.35. Dapat diakses melalui link berikut ini : https://www.penguin.com.au/books/man-of-contradictions-9781760145217.
[8] Terjemahan bebas penulis.
[9] Sumber : https://www.theguardian.com/world/2012/jun/10/lyndon-b-johnson-robert-caro-biography.
[10] Terjememahan bebas penulis.
[11] Sumber : https://nasional.kompas.com/read/2021/05/17/15355701/jokowi-hasil-twk-hendaknya-tak-dijadikan-dasar-berhentikan-75-pegawai-kpk?page=all.
Leave a Reply