Void atau lubang bekas tambang batubara di Kaltim, sedari dulu menyisakan masalah dan melahirkan duka. Kurun waktu 2011-2019, sudah 36 orang meregang nyawa, yang mayoritas adalah anak-anak. Belum hancur kain kafan satu korban, datang korban lainnya. Belum kering air mata Ibu para korban, sudah terdengar tangis pilu dari keluarga korban lainnya. Lebih pilu lagi, mereka mati tanpa ada yang bertanggungjawab. Pemerintah bergeming, polisi membisu, pemegang konsesi izin usaha pertambangan (IUP) pun nampak tak punya beban dan rasa bersalah. Padahal jelas, void pencabut nyawa itu adalah akibat yang timbul dari sebab kewajiban reklamasi yang abai dikerjakan para pemegang IUP.
Sekarang pemegang IUP itu makin jauh dari jerat hukum. Kelalaian mengerjakan kewajiban reklamasi void, akan dilegitimasi oleh Rapergub ini. Void pencabut nyawa tidak akan ditutup dengan alasan void itu punya nilai sosial dan ekonomis, dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber air, budidaya perikanan, dan peruntukan lainnya (kosideran menimbang huruf c). Logika manfaat ini seperti penggugur dosa dari kejahatan para pemegang IUP yang wilayah konsesinya memakan korban. Rapergub itu hanya menjadi stempel bagi perusahaan untuk lepas dari jerat hukum. Reklamasi tetaplah kewajiban yang berkonsekuensi hukum, berimplikasi pidana jika memakan korban jiwa.
Secara hukum, frase “reklamasi untuk peruntukan lain” (Pasal 1 angka 20), bahkan tidak dikenal dalam istilah manapun, tidak diatur dalam ketentuan peraturan di atasnya. Silahkan diperiksa secara seksama, baik di dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagai aturan payung (umbrella act) maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, sama sekali tidak mengenal istilah atau frase “reklamasi untuk peruntukan lain” tersebut. Memang sangat aneh bin ajaib, kenapa justru pebahasan peruntukan lain yang diutamakan, sementara kewajiban reklamasi pemegang konsesi IUP justru tidak dikejar?
Dorongan pembahasan Rapergub pengelolaan void ini juga menguatkan kecurigaan publik, “jangan-jangan upaya cuci tangan kewajiban reklamasi lubang tambang para pemegang IUP, ditukar guling dengan dana jaminan reklamasi yang masih terparkir di rekening bank, yang notabene dalam pengawasan Pemerintah?”. Logikanya sederhana, jika reklamasi pascatambang dieksekusi sesuai dengan dokumen rencana reklamasi, bisa jadi pemegang IUP membutuhkan dana yang jauh lebih besar. Jadi lebih baik kewajiban reklamasi itu diputihkan atau dibebaskan melalui legitimasi produk hukum, tapi tentu dengan imbalan kompensasi tertentu bagi yang mendorong realisasi regulasi tersebut.
Catatan pendek ini juga bisa dilihat di link berita berikut : Logika Jungkir Balik Rancangan Pergub Pengelolaan Lubang Bekas Tambang. Dan bagi yang ingin membaca Rapergub pengelolaan lubang tambang Kaltim, bisa diunduh disini : Download.
Leave a Reply