Civitas akademika dari berbagai kampus menyampaikan sikap keprihatinannya terhadap kondisi bangsa hari ini. Sikap dosen dan mahasiswa ini bahkan semakin masif dan meluas diberbagai daerah. Ibarat bola salju, gerakan ini terus menggelinding dan semakin membesar. Gerakan ini meletup, menjalar kemana-mana. Membuka katub kerinduan akan fungsi dan tanggung jawab moral kaum intelektual kampus terhadap persoalan bangsa dan negara. Kaum intelektual kampus yang selama ini seperti diam membisu, kini secara perlahan mencoba keluar dan berusaha mengambil peran di tengah situasi demokrasi yang kian memburuk. Tapi ingat, publik tidak boleh bergembira terlalu dini menyambut gerakan para kaum intelektual kampus ini. Oleh karena itu, euforia tidak boleh berlebih, sebab konsistensi gerakan ini mesti terus dijaga.
Sikap keprihatinan para civitas akademika ini, dipicu oleh beragam kondisi, terutama posisi kekuasaan, dalam hal rezim Joko Widodo, yang dianggap gagal menjaga marwah demokrasi. Mandat reformasi seolah digerus oleh beragam sikap dan kebijakan kekuasaan. Mulai dari kooptasi terhadap lembaga-lembaga negara yang lahir dari rahim reformasi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK), putusan MK yang memberikan jalan bagi dinasti Presiden Joko Widodo (Jokowi), politisasi penyaluran bantuan sosial, hingga pernyataan Presiden Jokowi yang dianggap menggadai netralitasnya karena menyebut Presiden boleh memihak dan berkampanye untuk salah satu pasangan calon presiden.
Tanggung Jawab Intelektual Kampus
Sikap keprihatinan para civitas akademika ini, memberikan pesan bagaimana seharusnya kelompok intelektual kampus bersikap terhadap kondisi bangsa dan negara. Intelektual kampus tidak boleh mengurung diri dalam tembok kampus. Mereka harus keluar dan menyelami beragam persoalan masyarakat. Hanya dengan cara itu kelompok intelektual kampus bisa mendapatkan tempat dalam panggung kemanusiaan. Panggung dimana mereka seharusnya berada. Muhammad Hatta, dalam pidatonya yang berjudul, “Tanggung Jawab Moral Kaum Inteligensia”, menegaskan jika kaum inteligensia Indonesia memiliki tanggung jawab moral terhadap perkembangan masyarakat. Sebab berdiam diri bermakna khianat terhadap dasar kemanusiaan, yakni pangkal yang seharusnya menjadi pedoman hidup bagi kaum inteligensia umumnya[1].
Namun kelompok intelektual kampus harus tetap membumi. Berpikir untuk memilihara ritme gerakannya agar tetap memiliki nafas panjang. Sebab tidak ada perubahan yang bisa didapatkan hanya dengan sekali pukul. Perubahan itu menuntut keteguhan atas prinsip. Oleh karena itu, kelompok intelektual kampus setidaknya harus memastikan 3 hal penting, yakni : Pertama, konsistensi. Setiap gerakan selalu membutuhkan konsistensi. Tanpa itu, gerakan hanya akan berwujud aktivisme. Muncul sekali, lalu menghilang begitu saja. Kedua, soliditas. Karena berasal dari keresahan kolektif, seharusnya soliditas mampu dijaga dengan baik. Tapi watak sektarian seringkali muncul. Watak yang cenderung merasa bangga dengan almamater masing-masing. Ini yang harus dikikis bersama. Dan Ketiga, persatuan. Gerakan tentu tidak bisa dimonopoli hanya oleh kelompok intelektual kampus. Namun harus bersenyawa dengan kelompok lain (Buruh, petani, perempuan, dan masyarakat sipil lainnya). Hanya dengan persatuan, daya gedor kita jauh lebih besar, posisi tawar kita jauh lebih kuat.
Munculnya Kontra-Gerakan
Setiap aksi, selalu memiliki reaksi. Setiap gerakan selalu ada kontra gerakan. Dan umumnya kontra gerakan ini diorkestrasi oleh kekuasaan. Kontra gerakan ini bertujuan menginterupsi gerakan dan melumpuhkan semangat. Tapi bagi orang yang paham dengan manajemen gerakan, orang yang lama bergelut dengan pembangunan gerakan, pasti paham jika semakin ditekan maka gerakan akan semakin membesar. Tinggal bagaimana kita mengelolanya dengan baik. Lantas siapa orang-orang yang kontra gerakan itu? Pertama, tentu saja kekuasaan. Terlebih jika kekuasaan itu bertelinga tipis dan bermuka tebal, mereka akan selalu bereaksi negatif terhadap setiap kritik yang dialamatkan kepadanya. Bahkan cenderung represif. Faktanya, cukup banyak upaya intimidasi dan serangan yang dialami oleh kelompok intelektual kampus ini. Kedua, para intelektual kampus “kelas kambing” penyokong kekuasaan. Intelektual kampus kelas kambing macam ini merujuk istilah Romo Y. B. Mangunwijaya, yakni para intelektual yang menghitung 4×4=20 akibat telah dibutakan oleh kekuasaan[2].
Namun kita tidak boleh lupa, jika kontra gerakan juga bisa saja lahir dan berkembang biak dalam diri para intelektual kampus sendiri. Penyakit yang gampang tergoda dengan kekuasaan. Betul kata Friedrich Nietzsche, “Siapa saja yang bertanding melawan monster harus bisa memastikan bahwa dalam prosesnya, dia tidak akan berubah menjadi monster”. Inilah tantangan terbesar dari para intelektual kampus. Konsistensi dari prinsip pengabdiannya terhadap kemanusiaan harus terus dijaga, kewarasannya mesti terus dipelihara, dan keberpihakannya wajib dipertahankan. Dan salah satu cara menjaganya adalah dengan selalu berupaya hadir disetiap persoalan yang dihadapi oleh rakyat banyak. Bukan hanya bereaksi saat menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) saja. Mereka harus belajar berempati dalam setiap persoalan yang tengah dihadapi oleh Rakyat Banyak, mulai dari apa yang dialami oleh warga Desa Wadas di Jawa Tengah, Poco Leok Nusa Tenggara Timur, Air Bangis di Sumatera Barat, Pulau Rempang di Kepulauan Riau, Pakel di Banyuwangi, dan warga lainnya yang mengalami penindasan serupa. Saat rakyat dihajar oleh kebijakan kekuasaan yang menindas, kaum intelektual kampus harus menumpahkan solidaritasnya! Dengan cara inilah konsistensi para intelektual kampus ini mampu dipertahankan. Tidak cukup hanya dengan bersikap saat momentum Pemilu saja!
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Tempo, edisi Rabu 7 Februari 2024. Sumber gambar : Tempo/J.Prasongko.
[1] Bagian III Pidato Muhammad Hatta di Hari Alumni I Universitas Indonesia, 11 Juni 1957, yang diberi tajuk, “Tanggung Jawab Moral Kaum Intelegensia”. Artikel ini dapat dibaca melalui link berikut ini : https://nalarpolitik.com/sekolah-tinggi-arena-latihan-bertanggung-jawab/. Diakses pada tanggal 5 Februari 2024 Pukul 12.00 Wita.
[2] Sumber : https://pmb.lipi.go.id/kewajiban-kaum-intelektual/. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2021, Pukul 11.03 Wita.
Leave a Reply