• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
  • Skip to primary sidebar
  • Skip to footer
  • Home
  • Profil
    • Facebook
    • Twitter
    • Youtube
    • Instagram
  • Kontak
  • Blog
  • Publikasi
    • Sinta
    • Google Scholar
    • Orcid
    • Research Gate
  • Kata Bijak
  • Templates
  • Log In

Herdiansyah Hamzah

Lebih sering dipanggil Castro. Buruh di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.

  • Home
  • Hukum dan Korupsi
  • Ekonomi Politik
  • Perburuhan
  • Pendidikan
  • Sosial Budaya
  • Pojok
  • Situasi Daerah
You are here: Home / Hukum dan Korupsi / Mufakat Jahat Politik Uang

Mufakat Jahat Politik Uang

By Herdiansyah Hamzah on August 10, 2017

Stop Politik Uang. Sumber gambar : redaksiindonesia.com.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) yang akan berlangsung di bulan juni 2018 nanti, sudah memunculkan berbagai isu dan perdebatan. Salah satunya terkait biaya pendaftaran (lamaran) sejumlah bakal calon kepada partai politik (parpol). Biaya yang ditetapkan sejumlah partai pun dipatok beragam. Mulai dari PPP (20 juta), PKB (25 juta), PDIP (50 juta) dan Hanura (75 juta).

Apakah biaya tersebut dapat dikategorikan sebagai politik uang? Apakah ini melanggar aturan? Untuk menjawab pertanyaan2 ini, ada baiknya kita membaca dengan teliti ketentuan perundangan2an yang berlaku. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undanh-undang (UU 8/2015), secara eksplisit mengatur mengenai mengenai hal ini.

Dalam Pasal 47 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota”. Artinya, imbalan apapun tidak diperbolehkan dalam proses pencalonan, termasuk biaya yang dipatok bagi bakal calon yang mengajukan lamaran ke parpol tertentu. Sebab frase “proses pencalonan” sudah dapat dimaknai sejak masa penjaringan bakal calon oleh parpol.

Jika parpol tetap kekeuh, maka hal ini tentu saja melabrak aturan yang ada. Parpol terkesan melegitimasi atau membenarkan politik uang yang bersifat transaksional, dengan mematok sejumlah biaya dalam proses pendaftaran bakal calon. Parpol tidak boleh berlindung dibalik alasan biaya administrasi, biaya survei, biaya operasional dan lain sebagainya. Konsekuensi terhadap pelanggaran ini, tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga dapat dikenakan hukuman pidana.

Dalam UU 8/2015 disebutkan bahwa parpol atau gabungan Parpol yang menerima imbalan dalam proses pencalonan, dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Disamping itu, juga dikenakan denda sebesar 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima. Sedangkan sanksi pidana diatur kemudian dalam UU 10/2016, khususnya Pasal 187B dan 187C. Tetapi ini berlaku bagi anggota parpol atau anggota gabungan parpol yang menerima imbalan, dan orang atau lembaga yang memberi imbalan.

Biaya pendaftaran yang dipatok oleh parpol, juga akan berimplikasi secara sosial dan politik, antara lain : Pertama, membatasi hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih. Modal politik jangan an sich diterjamahkan sebagai kekuatan uang. Tetapi jauh lebih penting soal kecakapan, integritas, rekam jejak dan keberpihakan. Soal pendanaan, Negara-lah yang harus bertanggungjawab menyediakannya melalui sistem politik yang sedang dibangun.

Kedua, tentu saja menyangkut edukasi politik bagi masyarakat. Upaya untuk melegalkan politik uang secara transaksional ini, tentu saja akan berpengaruh terhadap tingkat kemampuan dan kecerdasan politik masyarakat (political efficacy). Prilaku parpol ini akan membentuk pola pikir bahwa politik uang adalah hal yang biasa. Kalau di hulu sudah melegalkan politik uang, terlebih di hilir proses pilkada.

Situasi ini tentu saja menuntut agar Negara melalui aparaturnya mengambil sikap tegas, agar tidak menciderai proses demokrasi yang akan berlangsung. Negara tidak boleh diam. Sebab diam, bermakna turut membenarkan tindakan parpol ini. Negara melalui penyelenggara, setidaknya dapat memberikan imbauan secara tegas kepada parpol, agar politik transaksional melalui biaya pendaftaran bakal calon, tidak lakukan dengan alasan apapun.

Jika tetap dilakukan, maka proses hukum harus dilakukan tanpa kompromi. Pun demikian dengan parpol. Komitmen praktek politik uang harus ditegaskan kembali. Jangan terkesan seolah-olah buta dengan aturan dengan mempermaikannya. Sebab jika ini terus dilakukan, maka masyarakat bisa saja menarik dukungan dan kian melebarkan jarak ketidakpercayaan yang selama ini sudah semakin tergerus.

Tulisan ini sebelumnya dimuat di kolom catatan koran harian Kaltim Post, edisi Selasa 8 Agutus 2017.

 2,046 total views,  1 views today

Filed Under: Hukum dan Korupsi

Silahkan daftarkan e-mail Anda untuk berlangganan artikel terbaru.

About Herdiansyah Hamzah

Orang biasa yang sedang belajar menulis dengan segala keterbatasan. Karena menulis adalah cara kita berbicara dengan zaman. Untuk bertukar pikiran, silahkan hubungi saya melalui halaman Kontak atau melalui Facebook, Twitter, Google+, Youtube, Flickr dan Instagram.

Reader Interactions

Comments

  1. Dodi says

    September 2, 2017 at 2:15 am

    Sangat mencerahkan…

    Reply
    • Herdiansyah Hamzah says

      October 6, 2017 at 6:18 pm

      Terimakasih. Mari saling menguatkan.

      Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Primary Sidebar

Tentang Saya

Orang biasa yang sedang belajar menulis dengan segala keterbatasan. Karena menulis adalah cara kita berbicara dengan zaman. Untuk bertukar pikiran, silahkan hubungi saya melalui halaman Kontak atau melalui Facebook, Twitter, Google+, Youtube, Flickr dan Instagram.

Artikel Terpopuler

  • Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 53.1k views
  • Jejak Sejarah Budaya Korupsi Di Indonesia 10.2k views
  • Seri Hukum Perburuhan : Antara Buruh, Pekerja dan Karyawan 4.1k views
  • Netralitas ASN Dalam Pilkada 3.4k views
  • Seri Belajar Menulis, Darimana Kita Harus Memulai? 3.2k views

Silahkan daftarkan e-mail Anda untuk berlangganan artikel terbaru.

Pilih Kategori

Ekonomi Politik Hukum dan Korupsi Pendidikan Perburuhan Pojok Situasi Daerah Sosial Budaya

Meta

  • Log in
  • Entries feed
  • Comments feed
  • WordPress.org

Footer

Artikel Terbaru

  • Korupsi Perusda February 24, 2021
  • RIP Baju Kesayangan February 23, 2021
  • Krisis Demokrasi Indonesia February 16, 2021
  • Belajar Soal Prinsip Dari Musisi February 6, 2021
  • Calon Terpilih Meninggal Dunia Sebelum Pelantikan January 30, 2021

Komentar Terbaru

  • Krisis Demokrasi Indonesia – Herdiansyah Hamzah on Pers Dan Kebebasan Semu
  • Herdiansyah Hamzah on Seri Hukum Perburuhan : Antara Buruh, Pekerja dan Karyawan
  • Leemi Keche on Kontak
February 2021
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
« Jan    

Copyright © 2021

Creative Commons License