Mahkamah Konstitusi, telah memutuskan agar pemilihan umum dilaksanakan secara serentak. Pemilihan umum yang dimaksud adalah pemilihan umum presiden dan wakil presiden dan pemilihan umum anggota legislatif, baik anggota DPR, DPD maupun DPRD. Putusan ini tertuang dalam nomor perkara No.14/PUU-XI/2013 yang dibacakan hari kamis tanggal 23 Januari 2014.
Dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi, dinyatakan bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Politik Transaksional
Efisiensi biaya memang menjadi salah satu alasan mengapa pemilu serentak menjadi solusi yang tepat dalam sistem pemilu di Negara kita. Berbagai fakta sudah disajikan terkait mahalnya biaya pelaksanaan pemilu ini. Untuk pemilihan umum kepala daerah saja, Kabupaten/Kota menghabiskan biaya rata-rata 25 milliar dan untuk Provinsi sebesar 100 milyar (Sumber : Kompas). Bahkan untuk beberapa daerah, biaya pemilu mencapai nilai fantastis hingga trilyunan rupiah. Ddalam sebuah kesempatan, menteri dalam negeri, Gamawan Fauzi menyebutkan bahwa untuk kampanye pemilihan umum kepala daerah Jawa Timur saja, menghabiskan biaya sekitar 1 Trilyun Rupiah.
Namun lebih dari persoalan biaya, pelaksanaan pemilu secara serentak sesungguhnya memberikan manfaat yang lebih substansial. Pemilu serentak, sejatinya dapat meminimalisir peluang terjadinya “politik transaksional” yang selama ini menuai banyak kritikan. Politik transaksional sederhananya dapat dikonotasikan sebagai politik dagang, yakni skema transaksi politik yang berbasis jual beli antara pemberi dan penerima. Politik transaksional ini tidak hanya mengandalkan alat transaksi jual beli berupa uang. Akan tetapi dalam beberapa kasus, politik transaksional juga dapat berupa transaksi jual beli jabatan ataupun imbalan lain diluar uang.
Sistem pemilu yang hari ini yang berlangsung terpisah, justru kian menyuburkan skema politik transaksional. Dampaknya kemudian, politik transaksional cenderung lebih mengedepankan politik kompromi, sharing kekuasaan, dan praktek politik uang, dibanding mempertajan proses pembangunan kecerdasan perpolitik (political efficacy) bagi warga Negara.Bahkan dengan sistem pemilu yang terpisah seperti saat ini, politik transaksional dapat terjadi secara berlapis dan dengan beragam bentuk. Tawar menawar kepentingan melalui transaksi politik tersebut, dimulai saat pengajuan calon anggota legislatif, pengajuan calon presiden dan wakil presiden, pembentukan kabinet pemerintahan, hingga saat pembentukan koalisi di parlemen baik pusat dan daerah dengan tujuan permintaan jabatan tertentu dan sebagainya.
Tersandera Putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi pintu masuk pelaksanaan pemilihan umum secera serentak, tentu saja menjadi angin segar dalam penataan sistem demokrasi di Negara kita. Tapi tidak sedikit yang beranggapan bahwa putusan ini sebagai putusan yang terlambat. Hal ini mengingat putusan tersebut sesungguhnya telah dibacakan melalui Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), pada hari Selasa tanggal 26 Maret Tahun 2013 silam. Ketika itu, putusan perkara ini dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu, Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota.
Putusan yang telah diambil oleh Mahkahmah Konsitusi melalui Rapat Permusyawaratan Hakim sebelumnya, baru dibacakan melalui sidang pleno pada hari Kamis tanggal 23 Januari 2014. Pertanyaan kemudian muncul, mengapa putusan yang sudah lama tersebut diendapkan dan baru dibacakan sekarang? Ada 2 (dua) alasan yang mengemuka terkait lambannya pembacaan putusan uji materi tersebut. Pertama, perkara sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah yang menumpuk. Dan Kedua, kesibukan Mahkamah Konstitusi dalam mengembalikan citra dan nama baik pasca kasus korupsi yang melibatkan mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar.
Kedua alasan tersebut, bukanlah hal yang prinsip jika melihat arti penting dari materi perkara yang ada. Bahkan cenderung mengkambing hitamkan aspek teknis semata. Publik membutuhkan jawaban yang jauh lebih rasional dengan argumentasi yang dapat diterima oleh semua kalangan. Proses panjang pembacaan putusan terkait uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, tentu saja memberikan implikasi terhadap penataan sistem pemilu di Negara kita. Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadikan materi perkara ini menjadi prioritas utama. Bukan justru menahan dan membiarkannya larut dalam proses teknis.
Disamping itu, diktum kedua dari amar putusan Mahkamah Konstitusi, juga menegaskan bahwa putusan pemilu serentak, baru akan diterapkan pada pemilu tahun 2019 mendatang dan seterusnya. Alasannya sekali lagi dibebankan kepada aspek teknis, bahwa pemilu ditahun 2014 ini tinggal beberapa bulan lagi. Bukankah putusan pengadilan yang ditelah dibacakan, seharusnya berlaku sejak tanggal ditetapkannya? Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu, pada dasarnya dapat menunda pelaksanaan pemilu jika putusan pemilu serentak ini akan dilaksanakan tahun 2014 ini.
Namun fakta berbicara lain, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan agar pelaksanaan pemilu serentak baru akan dilaksanakan pada pemilu berikutnya ditahun 2019 nanti. Hal ini berarti pelaksanaan pemilu serentak, masih harus menunggu 5 tahun lagi. Maka sangat tepat jika dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyandera pelaksanaan pemilu serentak dalam putusannya sendiri. Ini sama halnya dengan tetap membiarkan sistem pemilu berjalan dengan pola yang sama Sistem pemilu yang masih melapangkan jalan bagi praktek politik transaksional, politik uang, dan tentu saja dengan menghamburkan anggaran Negara yang tidak sedikit.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di media online Antaranews Kaltim
Mawan says
gak begitu pandai dalam hal politik mas, salam yah kunjungan pertama 😀
Herdiansyah Hamzah says
Tidak apa2 mas, makanya kita harus lebih sering berdiskusi. Trims atas kunjungannya ya. Regards.
Ika Koentjoro says
Tp kalo bener2 diterapin pemilu ini berarti persiapan yg udah berjalan jd nggak ada artinya dong. Yah, meski kudu sabar nunggu 2019, mudah2an itu yang terbaik
Herdiansyah Hamzah says
Lebih kepada legalitas atau keabsahan pemilu 2014 ini aja sih. Khawatir hasil pemilu ini rawan gugatan yang berarti akan menghabiskan banyak waktu. Yang menjadi korban tentu saja Rakyat Indonesia. Trims udah mampir ya.
Saeful Rahman says
saya cuma bisa tutup mulut kalau bicara masalah politik. 😀
bisa hemat biaya
Herdiansyah Hamzah says
He…3x, tutup mulut sekalipun, tetap membuat kita sulit untuk melepaskan diri dari dunia politik mas. Tutup mulut juga berarti pilihan dan pilihan itu memberikan konsekuensi buat kita.
nini says
Pemilu serentak,tp gmn cara nentuin presidensial thresoldnya? Kan pasal 9 ga di batalin.Bingung mau cari bahan kuliah. Tmksih 🙂
Herdiansyah Hamzah says
Putusan MK mengenai pelaksanaan pemilu serentak, otomatis mereduksi pasal 9. Artinya, presidential treshold tidak memiliki landasan lagi. Namun bagaimanapun, syarat pengajuan capres dan cawapres tetap perlu diatur dalam regulasi baru. Memang masiih menjadi perdebatan, ada yang mengatakan ambang batas itu dari pemilu 2014 ini. Ta[i bagi saya, bisa saja 12 parpol dapat mengajukan masing-masing calon presidennya sendiri.