Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sedianya digelar serentak pada tanggal 23 September 2020, pada akhinya harus ditunda akibat situasi pandemik Covid-19 yang tak kunjung mereda. Jika saja kita memiliki budaya disiplin yang cukup baik, serta infrastruktur yang memadai, maka pilihan untuk tetap menggelar Pilkada bukan tidak mungkin dilakukan. Korea Selatan, adalah negara pertama di dunia yang menggelar Pemilihan Umum (general election) anggota legislatif di tengah wabah pandemi Covid-19[1]. Bahkan Pemilu legislatif yang sekiranya diikuti oleh 43,9 juta pemilih yang terdaftar tersebut, digelar sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Korea Selatan[2].
Pemilu Legislatif Korea Selatan, tentu dilakukan secara ketat. Para pemilih harus datang mengenakan masker, memakai sarung tangan plastik sekali pakai, dan berdiri dengan jarak antar pemilih setidaknya 1 meter. Tempat pemungutan suara akan secara teratur didisinfeksi dan siapa pun dengan suhu lebih dari 37,5 derajat celcius harus memilih di bilik khusus yang telah disediakan[3]. Ini hanyalah beberapa langkah yang diambil untuk memungkinkan pemilihan Majelis Nasional yang dijadwalkan berlangsung selama pandemi Covid-19. Tiga ratus kursi di Majelis Nasional diperebutkan, dan tiga puluh lima partai telah mendaftarkan diri sebagai kandidat dalam pemilihan ini[4].
Apakah situasi di Korea Selatan ini dapat dibandingkan dengan Indonesia? Tentu saja konyol membandingkan keduanya. Tanpa bermaksud merendahkan, tapi Indonesia memang tertinggal jauh dari Korea Selatan. Mereka punya sistem mitigasi yang mumpuni, sehingga mampu menekan penyebaran pandemi Covid-19. Mesti tidak menerapkan “lockdown”, namun Korea Selatan termasuk negara yang efektif melawan Covid-19 ini. Setidaknya ada 3 (tiga) faktor yang membuat Pemilu legislatif Korea Selatan tetap berjalan di tengah pandemik ini. Pertama, faktor budaya. Soal kedisiplinan, masyarakat Korea Selatan tidak perlu diragukan lagi. Jadi pengetatan berbagai macam syarat teknis dalam pelaksanaan pemilu, bukanlah masalah bagi mereka.
Kedua, faktor infrastruktur. Korea Selatan setidaknya memiliki infratsruktur yang memadai untuk menopang pelaksanaan Pemilu. Bukan hanya infrastruktur pemilinya, tetapi juga infrastruktur kesehatan sebagai antisipasi. Ketiga, faktor kepercayaan terhadap Pemerintah (trusted). Kepercayaan masyarakat meningkat tajam, terutama akibat keberhasilan kebijakan Pemerintah dalam penanganan pandemik Covid-19. Tingkat kepercayaan yang tinggi ini, tentu akan membuat seruan terhadap keikutsertaan dalam Pemilu, akan jauh lebih didengarkan. Jumlah kasus virus Covid-19 di Korea Selatan per tanggal 22 April 2020 hanya mencapai 10.694 kasus, dengan jumlah kasus kematian sebanyak 238 orang dan berhasil disembuhkan sebanyak 8.277 orang. Bahkan penambahan kasus baru setiap hari terus berkurang, dimana pada tanggal 21 April 2020, terhitung hanya terdapat 9 kasus baru[5].
Sumber : worldometers.com[6]
Sementara Indonesia, per tanggal 22 April 2020 telah mencapai 7.135 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 616 orang dan yang berhasil disembuhkan sebanyak 842. Grafik penambahan kasus perhari terus meroket, dimana per tanggal 21 April 2020 terhitung terdapat 375 kasus[7]. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan, dan tentu saja akan sangat mepengaruhi pelaksanaan Pilkada 2020. Mustahil bagi kita untuk tetap melanjutkan tahapan Pilkada sesuai jadwal. Kita tidak memiliki segala peralatan yang dibutuhkan untuk tetap memaksakan pelaksaanan Pilkada sesuai jadwal, seperti apa yang dilakukan oleh Korea Selatan. Maka pilihan mengatur ulang jadwal (rescheduling) Pilkada, adalah pilihan yang rasional di tengah kondisi hari ini. Dalam rapat yang digelar oleh Komisi II DPR-RI bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri), yang turut dihadiri oleh KPU, Bawaslu, dan DKPP, Komisi II DPR-RI akhirnya menyetujui usulan Pemerintah terhadap penundaan pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak tahun 2020 menjadi tanggal 9 Desember 2020[8]. Pertanyaannya adalah, apakah waktu yang disepakati ini, sudah tepat di tengah masa pandemi Covid-19 yang tidak bisa kita prediksi?
Sumber : worldometers.com[9]
Sebelum diputuskan tanggal 9 Desember 2020, KPU sejatinya mengusulkan 3 (tiga) opsi lamanya waktu penundaan, yakni : penundaan selama 3 bulan yang berarti jatuh pada bulan Desember tahun 2020, penundaan selama 6 bulan yang berarti jatuh pada bulan Maret tahun 2021, dan penundaan selama 9 bulan yang berarti jatuh pada bulan Juni tahun 2021. Namun ini tentu saja hanya sebatas usulan, sebab kewenangan penuh untuk mengajukan penundaan, tetap ada di tangan Pemerintah. Pada akhirnya, opsi pertama yang disetujui DPR dan Pemerintah. Banyak kalangan yang menybut jika tanggal 9 desember 2020 ini adalah opsi yang tidak tepat, dan sangat beresiko, baik terhadap penyelenggara dan terlebih kepada rakyat sebagai pemilih. Setidaknya terdapat beberapa alasan yang menguatkan argumentasi ini. Pertama, tidak bisa dipastikan kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir. Jadi menetapkan bulan desember sebagai waktu pelaksanaan Pilkada, sama saja memilih kucing dalam karung. Penyelenggara tidak boleh meraba-raba soal ini, mesti ada kepastian agar semua jadwal dan tahapan sesuai dengan rencana.
Kedua, pelaksanaan Pilkada serentak di tengah ketidakpastian kapan pandemi Covid-19 akan berakhir, sama saja dengan melipatgandakan beban penyelenggara. Jjika pandemik ini tak kunjung berakhir disaat tahapan sudah berjalan, otomatis aka nada penjadwalan ulang lagi. Ini berarti penyelenggara bekerja dua kali. Habis waktu, habis tenaga, habis pikiran, dan habis anggaran. Jadi lebih baik “wait and see”, sembari tetap berupaya mendorong perbaikan dan penguatan di internal penyelenggara. Ketiga, disaat seluruh rakyat berjibaku melawan pandemi Covid-19, tentu saja akan membuat kerja-kerja penyelenggara menjadi tidak fokus. Satu sisi ada tuntutan agar tahapan Pilkada serentak harus berjalan dengan baik, tapi sisi lainnya mereka juga harus turut berjuang bersama untuk melawan Pandemik Covid-19 ini. Jad pilihan terbaik adalah menunda Pilkada serentak 2020 hingga pandemik Covid-19 ini mereda, atau setidak-tidaknya mampu ditangani dengan baik.
Kebijakan penundaan terhahap Pilkada serentak, tentu membutuhkan legitimasi hukum yang kuat sebagai dasar pengambilan kebijakan. Berdasarkan ketentuan Pasal 201 ayat (6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015, seharusnya dilaksanakan pada bulan September tahun 2020 ini. Maka pergeseran waktu dari yang seharusnya, tentu saja harus didahului dengan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tersebut. Namun karena kita tengah menghadapi pandemi Covid-19, rasanya berat dan hampir mustahil untuk berharap perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 ini dilakukan dalam kondisi normal. Untuk itu, opsi terbaik memang adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU). Hal tersebut dikarenakan kondisi saat ini, sudah memenuhi syarat dan masuk dalam kategori “hal ihwal kegentingan yang memaksa“, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri, dalam putusannya Nomor 138/PUU-VII/2009, memberikan tiga indikator kegentingan yang memaksa tersebut. Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hokum (rechtsvacuum), atau undang-undang ada, namun belum memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa, karena akan memerlukan waktu yang cukup lama. Sedangkan keadaan yang mendesak tersebut memerlukan kepastian untuk segera diselesaikan. Mengingat urgensi penundaan Pilkada serentak 2020 di tengah masa pandemi Covid-19 ini, maka indikator hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana yang disebutkan secara eksplisit dalam putusan MK tersebut, memenuhi syarat untuk diatur dalam PERPPU.
Lantas apa yang harus diatur dalam PERPPU tersebut? Pertama, tentu saja soal penundaan Pilkada serentak 2020 yang sedianya dilaksanakan tanggal 23 September 2020 nanti. Namun karena masa pandemi Covid-19 yang tidak bisa diprediksi, maka waktu pelaksanaan pencoblosan sebaiknya didelegasikan kepada penyelenggara, dalam hal ini KPU, untuk menentukan waktu pelaksanaan pencoblosan. Jadi PERPPU cukup mendeklarasikan saja penundaan pelaksanaan Pilkada serentak 2020 tersebut. Sementara waktu pelaksanaan, akan diputuskan oleh KPU berdasarkan perkembangan situasi pandemi Covid-19. Menentukan jadwal pencoblosan di tengah pandemi Covid-19 yang sulit diprediksi kapan akan berakhir, justru melahirkan ketidakpastian. Terlebih jika pilihan waktu pencoblosan itu ditanggal 9 Desember 2020, sebagaimana yang telah disepakati oleh DPR dan Pemerintah.
Kedua, soal anggaran Pilkada. Penundaan Pilkada serentek 2020 ini, akan berkosekuensi pada anggaran, baik terhadap anggaran yang telah digunakan selama masa tahapan, maupun terhadap sumber pendanaan Pilkada pasca penundaan ini dilakukan. Terhadap anggaran yang telah digunakan, dan mata anggaran yang tersisa dalam APBD masing-masing, maka Mendagri harus segera mengeluarkan peraturan menteri (Permendagri) untuk memberikan kepastian terhadap penggunaan anggaran Pilkada tahun 2020 yang terinterupsi oleh wabah pandemi Covid-19. Peraturan menteri ini juga sekaligus sebagai korepsi terhadap Permendagri Nomor 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Wali Kota Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah. Dalam logika perundang-undangan, karena ketentuan mengenai pendanaan Pilkada diatur dalam Permendagri, maka perubahan terhadap ketentuan tersebut, juga harus dilakukan melalui Permendagri. Hemat saya, sisa anggara Pilkada yang tidak digunakan, sebaiknya dialihkan untuk penanganan pandemik Covid-19.
Sementara untuk sumber pendanaan Pilkada pasca penundaan ini (bukan ditahun yang sama), maka sebaiknya diambil dari pos APBN, bukan dari APBD lagi. Selain proses yang jauh lebih cepat, juga akan jauh lebih mudah dinegosiasikan, dibanding melalui APBD. Dengan demikian, keserentakan pendanaan Pilkada juga lebih pasti alias lebih terjamin jika diambil dari pos APBN. Hanya saja, tentu juga butuh dasar hukum yang memadai jika skema kebijakan ini yang dipilih. Untuk itu, Pasal 166 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang menyebutkan bahwa, “Pendanaan kegiatan Pemilihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan“, harus dirubah menjadi “sepenuhnya dibiayai oleh APBN”. Ini salah satu klausul yang harus diatur melalui PERPPU nantinya.
Ketiga, soal kedudukan penyelenggara ad-hoc. Penundaan Pilkada tentu saja berimplikasi terhadap status penyelenggara ad-hoc yang dibentuk oleh KPU. Sebut saja Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), yang berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, harus dibentuk paling lambat 6 (enam) bulan sebelum pemungutan suara, dan dibubarkan 2 (dua) bulan setelahnya. Berdasarkan ketentuan dalam PKPU Nomor 2 Tahun 2020, maka masa kerja PPK terhitung dari tanggal 1 Maret 2020, hingga tanggal 23 November 2020. Tidak hanya PPK, penundaan Pilkada juga akan berimplikasi kepada PPS, Panwascam, dan Panwas tingkat Desa/Kelurahan. Status penyelenggara ad-hoc ini, harus dipertegas oleh PERPPU nantinya, agar terdapat kejelasan menyangkut masa kerja mereka. Hal-hal semacam ini yang harus diatur dalam PERPPU, agar penundaan Pilkada serentak, maupun waktu pelaksanaan kedepannya, dapat berjalan dengan baik sebagaimana yang kita harapkan.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Kaltim Post Online, Edisi Kamis 23 April 2020. Sumber gambar : cekaja.com.
[1] Sumber : https://dunia.tempo.co/read/1331775/pandemi-virus-corona-tak-halangi-pemilu-di-korea-selatan/full&view=ok. Diakses pada tanggal 20 April 2020, Pukul 19.35 Wita.
[2] Ibid.
[3] Sumber : https://lokadata.id/artikel/cara-korea-selatan-gelar-pemilu-di-tengah-wabah-korona. Diakses pada tanggal 20 April 2020, Pukul 19.44 Wita.
[4] Ibid.
[5] Sumber : https://www.worldometers.info/coronavirus/country/south-korea/. Diakses pada tanggal 22 April 2020, Pukul 09.29 Wita.
[6] Ibid.
[7] Sumber : https://www.worldometers.info/coronavirus/country/indonesia/. Diakses pada tanggal 22 April 2020, Pukul 09.31 Wita.
[8] Sumber : https://news.detik.com/berita/d-4976846/komisi-ii-mendagri-kpu-sepakati-pilkada-serentak-9-desember-2020. Diakses pada tanggal 20 April 2020, Pukul 21.51 Wita.
[9] Sumber :https://www.worldometers.info/coronavirus/country/indonesia/. Diakses pada tanggal 22 April 2020, Pukul 09.31 Wita.
[…] Baca juga : Pilkada Di Tengah Pandemi Covid-19 […]