Suatu ketika, saya iseng nonton TV dan kbetulan dapat acara Oprah Winfrey di salah satu TV swasta nasional. Acara Oprah ini ditayangkan dengan edisi “Membongkar Ketabuan”. Edisi tersebut menayangkan sebuah Film Dokumenter yang berjudul “A Girl Like Me”, karya sineas muda Amerika yang bernama Kiri Davis.
A Girl Like Me mengeksplorasi standar kecantikan yang dominan di Amerika Serikat. Standar tersebut mempengaruhi harga diri dan citra diri seseorang. Film ini menayangkan fenomena bocah kulit hitam Amerika yang termanipulasi dengan kerasnya kehidupan, terutama masalah diskriminasi warna kulit. Selama tujuh menit durasi film ini menyentuh hati dan pikiran pemirsa di seluruh dunia dan berfungsi sebagai suatu peringatan bagi kita semua.
Dalam film documenter tersebut, Kiri mencoba melakukan penelitian terhadap beberapa bocah kulit hitam (yang berusia antara 4-6 tahun), dengan menyodorkan 2 buah boneka yang berbeda warna. Boneka pertama yang berwarna kulit putih dengan rambut lurus, sedangkan boneka kedua adalah boneka berwarna kulit hitam dengan rambut keriting khas Afrika. Semua sample bocah yang menjadi objek peneleitian Kiri, memiliki jawaban yang sama dari pertanyaan, “Which One the dolls do you like?” (boneka yang mana yang kamu suka?). Boneka yang berwarna kulit putih, jawab mereka tanpa rasaan ragu sedikitpun.
Ketika Kiri menanyakan, “Which one the dolls, is same like u?”, mereka dengan penuh rasa malu, ragu dan tertekan, menyodorkan boneka yang berwarna hitam. Mereka seakan-akan telah memperolok-olok dirinya sendiri dengan meyodorkan boneka hitam itu. Menyamakan dirinya dengan boneka berwarna hitam, sama saja dengan menyebut dirinya jelek. Tapi ini adalah realitas masyarakat yang sangat sulit mereka ingkari.
Berikut video “A Girl Like Me” karya Kiri Davis, streaming via Youtube.
Taukah anda makna dari film dokumenter yang membuat heboh seantero Amerika, bahkan dunia ini?. Film ini menunjukkan betapa tidak percaya dirinya anak-anak kulit hitam keturunan Afrika (atau biasa diistilahkan Negro) ini terhadap fisik yang mereka miliki. Sistem politik, media dan budaya, telah membangun sekat dan jurang diskriminasi terhadap penduduk minoritas. Sungguh sebuah gambaran situasi yang sangat menyedihkan bagi kita.
Eva Arlini says
terlalu singkat untuk sebuah resensi