Apa itu buruh? Bedakah dengan pekerja atau karyawan? Ini pertanyaan yang terlampau sering muncul ketika memulai perbincangan mengenai dunia perburuhan di Indonesia. Jika ketiga istilah tersebut berbeda, dimana letak perbedaannya? Sebaliknya, jika ketiga kata tersebut memiliki makna yang sama, lantas mengapa kebanyakan orang memberikan arti dan makna yang berbeda? Tulisan ini tidak sekedar mengutak-atik istilah, namun hendak memberikan gambaran akibat apa yang ditimbulkan perbedaan istilah tersebut sekaligus mencari tahu apa yang melatarbelakangi perbedaan itu.
Secara sederhana, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 3, memberikan penjelasan bahwa Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jika dicermati dengan baik, setiap frase kata pekerja di dalam undang-undang tersebut selalu diikuti dengan kata buruh. Penggunaan istilah pekerja yang selalu dibarengi dengan istilah buruh, menandakan bahwa dalam Undang-Undang ini, dua istilah tersebut memiliki makna yang sama (Agusmidah, 2010).
Buruh, pekerja, dan karyawan adalah seseorang yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainnya (Sumber : Wikipedia). Pada dasarnya, buruh, pekerja, dan karyawan adalah sama. Namun dalam kultur Indonesia, “Buruh” berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. Sedangkan pekerja dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tapi otak dalam melakukan kerja (Sumber : Wikipedia).
Buruh dalam konteks sejarah, sangat dipengaruhi oleh beragam aspek. Mulai dari aspek social, politik, ekonomi, hingga budaya. Dimasa orde lama Soekarno, istilah buruh sangat akrab ditelinga masyarakat. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, istilah buruh merupakan sebutan bagi siapapun yang bekerja dengan tujuan untuk mendapatkan upah. Baik yang bekerja disektor industri maupun mereka yang bekerja dikalangan pemerintahan. Dalam struktur pemerintahan, Soekarno juga lebih memilih menggunakan istilah buruh dibanding pekerja. Dimana kementerian yang bertanggung jawab dalam bidang perburuhan, disebut kementerian perburuhan. Pada saat itu, menteri perburuhan dijabat oleh SK Trimurti, yang juga sekaligus menteri perburuhan pertama di Indonesia (Agusmidah, 2010).
Pada masa orde baru Soeharto, istilah buruh mulai disingkirkan dan digantikan dengan istilah pekerja. Pergantian istilah ini juga terjadi dalam dinamika perkembangan serikat buruh di Indonesia. Pada tahun 1985, Kongres II Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang kemudian berubah nama menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), juga sekaligus memutuskan pergantian istilah buruh menjadi pekerja. Menurut Djumadi yang mengutip majalah Forum Keadilan, istilah buruh diganti dengan pekerja karena istilah buruh dinilai memiliki citra menentang kekuasaan (Djumadi, 2005).
Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa istilah buruh menjadi sangat menakutkan bagi Pemerintah di era orde baru Soeharto? Setidaknya terdapat 2 alasan yang mendasarinya. Pertama, dianggap bernuansa politis, dan memiliki tingkat alergitas yang tinggi dari pemerintah. Sehingga jarang digunakan oleh wadah organisasi pegawai, terutama di lingkungan instansi pemerintahan, BUMN dan BUMD. Kedua, dikonotasikan untuk para pekerja kasar, seperti buruh pabrik dan pelabuhan. Konotasi yang terakhir sampai sekarang masih melekat (Sumber : SP BNI). Bahkan belakangan muncul istilah lain seperti karyawan maupun pegawai seiring munculnya dikotomi istilah pabrik dengan kantor maupun perusahaan.
Politik Pecah Belah
Munculnya perbedaan istilah antara buruh, pekerja maupun karyawan, tentu saja berdampak kepada dinamika pembangunan organisasi serikat buruh di Indonesia. Banyak diantara para buruh yang tiba-tiba enggan menyebut dirinya buruh. Istilah pekerja dan karyawan menjadi dominan seketika. Bukankah mereka yang bekerja di instansi pemerintah (PNS, BUMN, BUMD), wartawan, dosen, perawat dll, adalah buruh? Prinsipnya, siapapun yang menjual tenaganya untuk mendapatkan upah, maka ia adalah seorang buruh.
Demikian juga dengan polisi dan tentara, bukankah mereka juga buruh? Hanya saja yang membedakan mereka dengan buruh pabrik, polisi dan tentara memiliki senapan, pistol dan sepatu laras, sementara buruh pabrik tidak memilikinya. Tapi kalau ingin jujur, senapan, pistol dan sepatu laras yang mereka gunakan, tentu saja dibuat dan diproduksi oleh para buruh pabrik juga bukan? Disamping itu, majikan polisi dan tentara adalah Negara. Untuk itu, tidak sedikit masyarakat yang menyebut polisi dan tentara sebagai buruh Negara.
Perbedaan istilah antara buruh, pekerja dan karyawan, merupakan upaya kekuasaan untuk memecah belah persatuan dikalangan buruh. Kekuasaan sadar, jika kekuatan buruh mampu disatukan dengan baik, maka akan menjadi ancaman serius bagi kekuasaan. Politik pecah belah atau yang dikenal dengan istilah “divide et impera”, adalah kombinasi strategi politik, militer dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat (Sumber : Wikipedia).
Pada akhirnya, politik pecah belah yang dimulai diawal kekuasaan orde baru berdiri, berhasil memecah persatuan dikalangan buruh. Banyak diantara mereka yang sesungguhnya masuk dalam kategori buruh, namun enggan menyebut dirinya buruh. Mereka cenderung lebih senang disebut pekerja atau karyawan. Dampaknya kemudian, sebutan pekerja atau karyawan justru membangun benteng pemisah dengan buruh-buruh lainnya, khususnya buruh pabrik yang bekerja disektor industri manufaktur. Walhasil, kekuatan buruh menjadi terpecah dan begitu sulit disatukan. Kalau saja persatuan dikalangan buruh dapat dilakukan, tanpa memandang dimana ia bekerja, jenis pekerjaan, suku, agama, ras, dll, maka tentu saja akan menjadi potensi kekuatan besar yang dapat menentukan kebijakan Negara.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Antaranews Kaltim
Daftar Referensi :
- Agusmidah, 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Dinamika dan Kajian Teori. Bogor : Galia Indonesia.
- Djumadi, 2005. Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
- Wikipedia Indonesia (Tag : buruh, pekerja, karyawan, politik pecah belah).
- Serikat Pekerja Bank Negara Indonesia (Website : SP BNI)
Aries Asharry says
Jika diamati lebih jauh memang demikianlah yang terjadi, dari sudut pandang lain seharusnya para buruh maupun kita bisa introspeksi diri dari fakta sejarah indonesia… Bukankah kita bangsa indonesia juga pernah dipecah oleh belanda dengan politik DEVIDE ET IMPERA?.
Sekarang kita sudah Merdeka (masih ragu merdeka atau belum) namun masih saja kita diperdaya dengan politik DEVIDE ET IMPERA.
Selama ada pencari kepentingan, maka DEVIDE ET IMPERA akan tetap eksis sepanjang masa.. seharusnya kita lebih menekankan pada penyadaran setiap individu agar mewaspadai upaya DEVIDE ET IMPERA dari pihak yang pastinya merugikan kita (termasuk para buruh di indonesia)..
Herdiansyah Hamzah says
Iya, benar. Sejarah gerakan buruh Indonesia, adalah sejarah panjang perjuangan melawan sistem kapitalisme. Sebuah sistem yang menghisap keringat kaum buruh. Pun demikian dengan imperialisme sebagai wujud kapitalisme global. Untuk itu, kaum buruh harus membangun dunia baru, dunia tanpa penghisapan manusia atas manusia lainnya dan bangsa atas bangsa lainnya.
Robi Ramdhani says
Dan ketika hari ini terjadi ketika RUU tenaga kerja yang menyangkut masyarakat kecil tidak menutup kemungkinan para demonstran bakal tambah semakin banyak
Herdiansyah Hamzah says
Benar, ada aksi tentu ada reaksi. Dan keresahan secara kolektif, tentu akan membuat protes semakin meluas dan massif.