Dalam cacatan saya, kurang lebih 10 kali saya dipanggil “koko”, sebutan bagi kakak laki-laki dalam bahasa Tionghoa. Bisa jadi panggilan “koko” itu disematkan, karena fisik saya yang agak mirip dengan peranakan Tionghoa. Mata sipit dan kulit rada “putih”, khas orang Tionghoa. Tidak semua yang bermata sipit dan berkulit putih adalah orang Tionghoa, tapi orang Tionghoa sudah pasti berkulit putih dan bermata sipit. Begitulah kira-kira silogisme itu berusaha dibangun.
Suatu ketika, saat ke tempat pendaftaran mobil rute Soppeng ke Makassar, saya berpapasan dengan kakak kandung laki-laki, yang kebetulan sedang ngopi di toko sebelahnya. Anehnya, kakak saya tak menyapa meski dengan jelas menatap ke arah saya, meski sekejap. Saya menghampiri dan protes keras. “Saya pikir kamu koko-koko Tionghoa tadi!”, jawabnya singkat sembari tertawa terbahak. Inilah kali pertama saya disebut mirip orang Tionghoa. Dan itu datang dari kakak kandung saya sendiri. Kejadian ini saat masih SMA seingat saya.
Tadinya saya berpikir sebutan “koko” ini hanya kebetulan. Jadi saya anggap biasa saja. Anggapan itu berubah drastis dalam satu peristiwa di tahun 1997, saat berada di Makassar. Peristiwa rasial meledak akibat pembacokan bocah 9 tahun oleh seorang pengidap gangguan jiwa, yang kebetulan pelakunya etnis Tionghoa. Kerusuhan disertai penjarahan toko milik warga keturunan, terjadi dimana-mana. Saat kejadian, saya berada di atas angkot rute pasar sentral menuju BTP, dan tak terduga, “Kena sweeping karena mirip Tionghoa”. Untung hanya kena interogasi, lalu dilepaskan kembali.
Tahun-tahun berikutnya, panggilan “koko” itu lebih sering terdengar. Dan kebanyakan saat saya jalan ke pusat perbelanjaan, terutama toko komputer atau handphone. Mulai dari Samarinda, Yogyakarta, bahkan hingga ke Palembang, panggilan koko itu makin akrab di telinga saya. Saya tak pernah protes, toh itu bukan hal yang substansial bagiku. Bahkan terkadang menjadi berkah yang menjadi pintu masuk keakraban. Lumayanlah buat lobi harga beli barang, meski pada akhirnya pasar yang menentukan harga, bukan irisan genealogi.
Suatu ketika paman anak saya sambil bercanda memanggil Pak Heri, tetangga sebelah rumah dengan sebutan “Om Cina”. Alif anak saya seketika marah dan menegur pamannya sembari berkata, “tak boleh begitu paman. Om Heri itu juga orang Indonesia, meski sukunya berbeda. Alif suku bugis, tapi juga orang Indonesia. Kita semua orang Indonesia”. Begitulah toleransi harus dipelihara, dipupuk sebaik mungkin dalam kehidupan sehari-hari. Semoga tahun-tahun berikutnya iman kemanusiaan kita makin kuat. Karena yang terpenting adalah sikap kepedulian Anda terhadap sesama, bukan latar belakang agama, suku, ras, dan golongan Anda.
Samarinda, 25 Januari 2020.
IT Telkom says
Thanks for information Telkom University