Peraturan Daerah (Perda) adalah produk hukum yang levelnya berada ditingkat daerah, baik daerah provinsi maupun daerah Kabupaten/Kota. Perda dihitung sebagai hak pemerintahan daerah, sebagaimana disebutkan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Dalam rangka menjalankan otonomi sebagai konsekuensi praktek desentralisasi, maka peran Perda begitu penting dalam mewujudkan agenda-agenda otonomi dimasing-masing daerah. Setidaknya ada 6 (enam) fungsi pokok Perda, dalam kaitannya dengan agenda otonomi tersebut. Pertama, sebagai dasar hukum bagi pemerintah daerah dalam mengeksekusi program-program pembangunan yang telah direncanakan. Rencana pembangunan ini umumnya tertuang dalam, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Kedua, sebagai instrumen kebijakan dalam pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Ketiga, sebagai terjemahan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Keempat, sebagai sarana untuk menampung dan mengakomodasi kekhususan dan keragaman daerah. Kelima, sebagai media untuk menyerap aspirasi dan keinginan masyarakat di daerah. Keenam, sebagai alat untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat.
Namun harus dipahami bahwa Perda dalam konteks pelaksanaan otonomi seluas-luasnya, tidak bermakna pemberian kedaulatan bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri tanpa kontrol dan pengawasan dari Pemerintah Pusat. Sebagai prinsip otonomi yang kita anut, adalah otonomi dalam bingkai negara kesatuan. Hal ini ditegaskan pada bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), yang dikutip secara utuh berikut ini, “Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan”.
Pembuatan Perda, tentu saja memiliki syarat-syarat tertentu dalam pembentukannya. Syarat inilah yang akan menjadi panduan agar Perda yang dihasilkan, dapat memenuhi prinsip-prinsip pembentukan Perda yang baik. Berikut adalah 10 (sepuluh) syarat yang dapat dijadikan pedoman dalam pembentukan Perda, baik dari segi substansi maupun dari segi teknis. Pertama, sinkron dengan peraturan di atasnya, atau peraturan induk (umbrella act). Harus dipahami bahwa Perda itu bukanlah peraturan yang semata-mata menguatkan eksistensi daerah, tetapi lebih dipandang sebagai perpanjangan tangan Pemerintah pusat. Karena peraturan induk tidak bisa menjangkau keberagaman semua daerah, maka Perda adalah jawaban secara teknis. Karena Perda lah yang mampu memotret kondisi khas daerah masing-masing, beserta kearifan lokal (local wisdom) yang dimilikinya. Prinsinya, tidak boleh ada pertentangan norma (conflict of norm) antara Perda dan peraturan induknya. Secara umum, dalam ilmu perundang-undangan, prinsip ini dikenal dengan istilah, “lex superior derogat legi inferior”, artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Perda yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, berkonsekuensi dapat dibatalkan (vernietigbaar). Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 250 ayat (1) UU Pemda, yang menyebutkan bahwa, “Perda dan Perkada dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan”.
Kedua, mengatur hal yang sesuai dengan kewenangannya. Jika diterjemahkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, maka sesungguhnya daerah memiliki hak dalam Pembentukan Perda. Tetapi pembentukan Perda tersebut, harus didasari oleh kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Konsep otonomi seluas-luasnya, tidak boleh dimaknai bahwa daerah boleh mengatur segala hal tanpa ada batasan. Karena itu Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, menegaskan bahwa, “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Sebagai contoh, daerah manapun tidak boleh membentuk Perda yang berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan. Sebab pengaturan mengenai keagamaan adalah mutlak menjadi kewenangan penuh pemerintah pusat. Dalam Pasal 10 ayat (1) UU Pemda, disebutkan bahwa terdapat 6 (enam) “urusan pemerintahan absolut” yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, yakni : politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasonal, dan agama.
Ketiga, bukan pengulangan dari peraturan yang sudah ada, atau peraturan yang lebih tinggi. Ini adalah masalah yang muncul sejak dulu. Perda yang dibuat, tidak lain adalah pengulangan isi dari undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan menteri. Ini jelas mubazir jika dipandang dari sisi pembuatan Perda. Logikanya, buat apa Perda dibuat jika peraturan yang telah ada, cukup untuk menjawab permasalahan yang ada di daerah. Keempat, bukan salinan atau plagiasi. Dalam beberapa kasus, Perda yang dibuat terkadang merupakan hasil salinan (copy paste) dari daerah lain. Apa yang berlaku di daerah A, tidak bisa kita telan mentah-mentah untuk diberlakukan di daerah B, begitupun sebaliknya. Sebab selalu ada kekhususan disetiap daerah yang tidak bisa diadopsi begitu saja. Kebiasaan menyalin Perda daerah lain macam ini, lebih tepat disebut sebagai kemalasan kolektif. Kelima, selaras dengan rencana pembangunan daerah. Perda harus linier dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), maupun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Kebanyakan Perda justru keluar dari jalur rencana yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
Keenam, melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Selama ini, dalam tahapan proses sosialiasi Perda, baik dalam bentuk dengar pendapat, seminar, maupun uji publik, partisipasi cenderung bersifat formalitas serta terbatas melibatkan kelompok tertentu saja. Itupun umumnya digelar di tempat-tempat mewah yang jauh dari jangkauan masyarakat. Idealnya, sosialiasi itu dilakukan dikantong-kantong massa yang mudah diakses oleh masyarakat. Selain lebih efektif, cara itu juga bisa lebih hemat biaya dibanding dilakukan di hotel-hotel dan tempat sejenisnya. Ketujuh, responsif terhadap persoalan-persoalan pokok yang terjadi di tengah masyarakat. Perda yang baik tentu saja yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Menurut Jeremy Bentham (2010), kebaikan publik hendaknya menjadi tujuan legislator; manfaat umum menjadi landasan penalarannya. Kedelapan, bukan didasari oleh bisnis atau mencari keuntungan (base on project). Ini yang terkadang merusak marwah dari Perda. Bahwa proses penyusunan Perda memerlukan biaya, iya. Tetapi tidak menempatkannya sebagai hal pokok. Manfaat dan kegunaan Perda bagi masyarakat, jauh lebih penting dari apapun. Kesembilan, Perda harus berbasis riset, bukan disusun dibelakang meja. Ketepatan dalam penyusunan materi muatan dalam Perda, sangat bergantung kepada hasil penelitian. Semakin akurat basis data yang didapatkan, maka semakin tepat pula materi muatan yang disusun dalam Perda. Ini sekaigus menjawab, kenapa naskah akademik begitu penting dalam setiap penyusunan Perda. Kesepuluh, harus terbuka dan transparan. Prinsip ini mesti dipraktekkan sejak dari penyusunan, pembahasan, penetapan hingga pengundangan Perda dalam lembaran daerah. Anehnya, tidak jarang Perda tiba-tiba diundangkan tanpa proses yang terbuka dan transparan, atau sering juga disebut dengan isilah “Perda Siluman”. Kita tidak boleh berlindung dibalik penerapan teori fiksi (fiction theory), dimana setiap orang dianggap paham dan mengetahui suatu Perda sejak diundangkan. Sebab setiap Perda yang dibuat, ada hak masyarakat untuk mengetahui baik isi dan prosesnya secara terbuka dan transparan.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Bontang Post, edisi Senin 08 Oktober 2018.
Leave a Reply