Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini menetapkan Bupati Kebumen, Mohammad Yahya Fuad, sebagai tersangka. Status tersangka ini disematkan akibat dugaan suap dan gratifikasi senilai 2,3 miliar, terkait dengan sejumlah proyek yang menggunakan APBD Kebumen. Ini tentu saja menambah daftar kepala daerah yang diangkut KPK. Sejak tahun 2004 hingga tahun 2017, setidaknya terdapat 76 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, dengan perincian 12 Gubernur, 64 Bupati dan Walikota (Sumber : Detik).
Selain Fuad, KPK juga menetapkan dua nama lain, yakni Hojin Anshori dan Khayub Muhammad Lutfi, komisaris perusahaan yang diduga sebagai pemberi suap. Menariknya, Hojin Anshori merupakan tim sukses saat Fuad mencalonkan diri sebagai bupati. Lagi-lagi tim sukses.
Baca juga : Jejak Sejarah Korupsi Di Indonesia.
Ini kian menguatkan jika balas jasa politik selalu menyandera pemenang. Di atas pemenang, masih ada pemenang, benarkah demikian? Boleh-boleh saja slogan the winner takes all dikumandangkan oleh kepala daerah pemenang Pilkada, namun tim sukses sepertinya lihai menagih utang piutang politik.
Sebelum kasus Fuad dan Hojin di Kebumen, mencuat pula kasus Rita Widyasari, Bupati Kutai Kartanegara, dengan Khairudin. Dugaan kasusnya sama, suap dan gratifikasi. Khairudin diduga memimpin tim 11 yang ditengarai mengendalikan lalu lintas proyek di salah satu Kabupaten terkaya di Indonesia ini.
Khairudin dan tim 11 merupakan tim pemenangan Rita semasa Pilkada. Kuat dugaan, tim 11 diberikan peran oleh Rita sebagai balas jasa politik (Sumber : Detik). Pertanyaannya adalah, siapa yang mengatur siapa? Kepala daerah yang menyulap tim sukses sebagai pagar politiknya, atau justru tim sukses yang menyandera kepala daerah dengan dalih utang budi?
Setidaknya terdapat empat skema yang bisa menjelaskan peran antara kepala daerah tim sukses ini.
Pertama, tim sukses bisa jadi hanya peran figuran. Aktor utamanya tetap kepala daerah. Hasil kajian Litbang Kemendagri menyebutkan bahwa untuk menjadi Walikota dan Bupati dibutuhkan biaya mencapai 20-30 miliar, sementara untuk menjadi Gubernur berkisar 20-100 miliar.
Besaran biaya yang dibutuhkan ini, tidak seimbang dengan kemampuan yang dimiliki oleh para calon kepala daerah. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), rata-rata total harta kekayaan calon kepala daerah hanya mencapai 6,7 miliar (Sumber : KPK). Tekor bukan? Lantas darimana sumber uang untuk menutupinya? Tentu saja dengan menguras uang rakyat.
Kedua, kepala daerah dan tim suksesnya saling membutuhkan. Berlaku relasi simbiosis mutualisme antara keduanya. Atas dasar inilah ihwal persekongkolan bermula. Jika melihat kasus Fuad-Hojin dan Rita-Khairudin, suap dan gratifikasi dilakukan secara bersama-sama.
Artinya, tiada tindakan tanpa perencanaan bersama. Seluruh aspek kebijakan terorganisasi. Tinggal bagaimana membagi peran masing-masing. Kepala daerah secara simbol menjual pengaruhnya, sementara tim sukses ini yang mengeksekusi dan mengelola hasilnya untuk dinikmati bersama.
Ketiga, tim sukses bertransformasi menjadi kekuatan oligarki baru, yang bahkan melebihi kuasa kepala daerah. Walhasil, kepala daerah seperti berada di bawah kendali tim sukses, meski tidak secara langsung. Mereka mampu mengontrol seluruh kebijakan kepala daerah.
Mulai dari pembahasan APBD, penentuan pemenang proyek, pengaturan lalu lintas perizinan, hingga penempatan orang-orang di Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Pada akhirnya, tim sukses ini menjadi kelompok minoritas yang menguasai mayoritas, mereka menentukan segala hal, termasuk menguasai seluruh sumber daya material di daerah.
Dan keempat, tidak kedua-duanya. Kepala daerah dan tim suksesnya hanya menjadi bidak bagi kepentingan kelompok oligarki yang lebih kuat dan lebih luas jangkauannya. Ada tapi tidak terlihat, terasa tapi sulit disentuh. Mereka punya peran mengatur ritme permainan, tetapi tak nampak di arena.
Sebagian menyebutnya dengan invisible hand, sebagian lain menggunakan istilah elite capture. Mari kita berpikir dengan pertanyaan. Siapa yang mengatur bongkar pasang calon? Siapa penentu mandat? Rekomendasi siapa yang dicap sebagai surat sakti? Jangankan rakyat, elit partai di daerah saja manut.
Yang pasti, para calon kepala daerah mustahil memenangkan pertarungan sendirian. Mereka butuh asupan strategi dan jangkar yang mampu membumikan ide dan gagasannya. Dan keberadaan tim sukses menjadi begitu penting, terutama karena tim sukseslah yang menjadi corong komunikasi si calon.
Namun tentu saja tim sukses yang baik, adalah mereka yang bekerja tanpa pamrih, memberi tanpa imbalan, dan memuji tanpa menadahkan tangan ke atas. Calon kepala daerah membutuhkan tim sukses yang mampu menjaga dirinya dari tindakan korup, tim sukses yang memagari integritasnya dengan baik, tim sukses yang anti korupsi.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Locita.
Leave a Reply