Dosen mengajarkan mahasiswa tentang bagaimana seharusnya demokrasi dijalankan. Memberikan asupan pengetahuan mengenai cara mengontrol dan mengawasi kekuasaan. Memastikan agar prilaku abusive kekuasaan tidak merusak sistem demokrasi kita. Di dalam kelas, di sudut-sudut kampus, di seminar-seminar, ataupun di forum diskusi manapun, dosen mengajarkan tentang prinsip-prinsip demokrasi yang harus kita jaga dengan baik. Sayangnya, apa yang diajarkan dosen-dosen tersebut, seperti dikurung dalam sangkar kepalanya tanpa mampu diejawantahkan dengan baik. Alih-alih keluar kandang dan bergabung dalam barisan pengkritik kekuasaan, tidak sedikit dosen yang justru menjadi barisan pembela kekuasaan nomor wahid.
Inilah salah satu contoh bagaimana etika kaum intelektual yang terabaikan. Terkubur dalam-dalam akibat perangai intelektual yang dibuai oleh kekuasaan. Padahal tugas utama kaum intelektual adalah memastikan demokrasi berjalan tegak. Bukan justru turut serta, bahkan menjadi stempel terhadap kerusakan demokrasi, akibat nafsu kekuasaan yang membabi buta. Demokrasi disandera untuk kepentingan elit politik. Pada akhirnya demokrasi kini dimaknai sebatas rutinitas lima tahunan. Sekedar prosedur untuk memastikan sirkulasi kepemimpinan elit politik berjalan secara periodik. Demokrasi kehilangan esensi utamanya sebagai tools untuk memastikan agar kekuasaan dipimpin oleh orang-orang yang berstandar moral tinggi. Demokrasi gagal menghadirkan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali.
Memahami Etika
Demokrasi harus dibalut etika. Demokrasi tidak bisa hanya dijalankan berdasarkan rumusan prosedur tertentu. Tanpa etika, demokrasi kehilangan kemewahannya. Lantas apa yang disebut etika itu? Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani kuno “ethikos” yang berarti lahir dari kebiasaan. Etika merupakan cabang filsafat yang fokus kepada studi tentang nilai benar dan salah, baik dan jahat. Dalam Black Law Dictionary, etika didefinisikan sebagai hal yang berkaitan dengan kewajiban moral yang dimiliki seseorang kepada orang lain. khususnya, dalam hukum, atau berkaitan dengan “etika hukum”[1], yakni standar minimum perilaku yang pantas dalam profesi hukum, yang mencakup kewajiban yang harus dilakukan anggotanya terhadap satu sama lain, kliennya, dan pengadilan[2]. Menurut Merriam-Webster, etika adalah disiplin yang berhubungan erat dengan apa yang baik dan buruk dan dengan tugas dan kewajiban moral kita[3]. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika dimaknai sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)[4].
Menurut Jimly Asshiddiqie, etika atau ethics tidak hanya menaruh perhatian pada soal benar dan salah, tetapi lebih dari itu juga persoalan baik dan buruk. Tujuan utamanya adalah kehipudan yang baik (the good life) bukan sekedar kehidupan yang selalu benar dan tidak pernah salah. Namun dalam praktik, keduanya menyangkut substansi yang menjadi esensi pokok persoalan etika, yaitu benar dan salah (right and wrong), serta baik dan buruknya (good and bad) perilaku manusia dalam kehidupan bersama[5]. Namun terkadang tidak sedikit yang menyamakan makna etika dan etiket. Padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Dimana etiket yang disadur dari bahasa Perancis “etiquette”, berkaitan erat dengan sopan santun, yang mengatur relasi antar manusia dalam adab pergaulan. Oleh karena itu, etika lebih bermakna universal, sedangkan etiket cenderung parsial, sangat ditentukan dengan budaya serta adat istiadat yang berkembang disetiap Masyarakat.
Etika Demokrasi
Apakah demokrasi sekedar norma dan procedural semata? Hanya dimaknai sebatas rutinitas yang diadministrasikan melalui badan-badan penyelenggara tertentu? Secara prinsip, demokrasi adalah simbol gagasan etis tertinggi. Demokrasi sejatinya memberikan derajat yang sama terhadap setiap kepala warga negara. Tidak hanya hak secara politik, tetapi juga hak secara ekonomi. Oleh karena itu, demokrasi harus linear antara kebebasan secara politik dan kesejahteraan secara ekonomi. Demikianlah esensi utama demokrasi. Logikanya, dalam keadaan perut lapar, mustahil demokrasi bekerja dengan baik. Kemiskinan hanya akan menyuburkan prakmatisme politik, yang melapangkan jalan politik uang bekerja. Jika ketimpangan eknomi tidak mampu dijawab, maka jelas ini adalah upaya untuk melanggengkan dominasi. Dukungan mayoritas tidak didapatkan karena kesadaran ideologis para pemilih, tapi diperoleh dengan memanfaatkan kondisi ekonomi pemilih. Disinilah apa yang disebut sebagai politik gentong babi (pork barrel politics) bekerja. Bagi-bagi uang, termasuk politisasi bantuan sosial pemerintah, menjadi jalan pintas memenangkan pertarungan elektoral. Apakah ini beretika? Jelas tidak!
Etika demokrasi juga harus menjadi dasar kekuasaan bekerja. Sebab kekuasaan tidak hanya dibentengi oleh aturan, tetapi juga dibalut dengan etika. Oleh karena itu, basis penilaiannya juga lahir dari kacamata benar salah dan baik baik buruk. Kata Alan Charles Kors dalam tulisannya yang berjudul, “The Ethics of Democracy”, demokrasi itu berkaitan dengan nilai-nilai moral yang akan menghidupkan masyarakat. Tanpa itu, maka demokrasi hanya akan menjadi tirani mayoritas[6]. Faktanya, kekuasaan cenderung abai dengan etika dan berlindung dibalik aturan hukum semata. Mulai dari upaya “menyandera” Mahkamah Konstitusi hanya untuk kepentingan politik pribadi, kelompok dan golongannya sendiri (politization of judiciary), pengangkatan penjabat kepala daerah yang tidak transparan, hingga politik cawe-cawe Presiden yang menggadai netralitasnya. Padahal sebagai negarawan, Presiden harus memposisikan dirinya sebagai pemimpin untuk semua, bukan hanya untuk satu golongan. Apakah ini beretika? Jelas tidak! Secara prosedural, demokrasi mungkin tetap berjalan. Tapi bisa dipastikan, demokrasi ini krisis etika.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Kaltim Post, edisi Jumat 16 Februari 2024. Ilustrasi gambar : DW (News)
[1] Bryan A. Gadner. 2004. Black’s Law Dictionary (Eighth Edition). Page.1668.
[2] Ibid, page.2617.
[3] Sumber : https://www.merriam-webster.com/dictionary/ethic. Diakses pada tanggal 14 Februari 2024, Pukul 12.45 Wita.
[4] Sumber : https://kbbi.web.id/etika. Diakses pada tanggal 14 Februari 2024, Pukul 13.55 Wita.
[5] Jimly Asshiddiqie. 2015. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi: Perspektif Baru tentang Rule of Law and Rule of Etihics & Constitutional Law and Constitutional Ethics. Jakarta : Sinar Grafika. Hlm.42.
[6] Alan Charles Kors. The Ethics of Democracy. The Georgetown Journal of Law & Public Policy, Volume 18 Issue S 2020. Sumber : https://www.law.georgetown.edu/public-policy-journal/in-print/volume-18-special-issue-2020/the-ethics-of-democracy/. Diakses pada tanggal 14 Februari 2024, Pukul 14.12 Wita.
Leave a Reply