Kontrak Karya (KK) PT. Freeport Indonesia akan habis pada tahun 2021 mendatang. Namun kegaduhan telah muncul saat ini. Terutama dari debat panjang yang disajikan didalam siding-sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Headline yang bertajuk “Papa minta saham” ini, dilatarbelakangi oleh laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, terhadap Ketua DPR-RI, Setya Novanto, yang dianggap melanggar etik dengan melakukan negosiasi terkait masa depan kontrak karya PT. Freeport Indonesia. Setya Novanto dalam hal ini disebut melampaui batas kewenangannya sebagai Ketua DPR-RI.
Situasi ini dianggap membuka kota Pandora keberadaan PT. Freeport Indonesia. Khususnya menyangkut sikap Pemerintah Indonesia terhadap kontrak karya PT. Freeport Indonesia. Sebab publik tak banyak yang tau, jika Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Minerah (ESDM) telah memberikan “jaminan” perpanjangan kontrak kepada PT. Freeport Indonesia. Berdasarkan siaran pers resmi dari Kementerian ESDM Nomor 61/SJI/2015 tanggal 9 Oktober 2015, disebutkan bahwa, PT. Freeport Indonesia Dan Pemerintah Indonesia Menyepakati Kelanjutan Operasi Komplek Pertambangan Grasberg Pasca 2021 (Sumber : Website Kementerian ESDM). Justru hal ini yang seharusnya menjadi substansi pokok yang harus diselesaikan bangsa ini, bukan sebatas masalah etika, yang sekarang dipertontonkan oleh MKD.
Dagelan Politik
MKD telah melakukan sidang maraton dengan menghadirkan pelapor, terlapor beserta saksi-saksi yang dianggap relevan. Tetapi belum ada keputusan yang melegakan bagi publik. Malah cenderung menggambarkan betapa tebalnya nuansa politik didalam persidangan, dibanding upaya mengambil keputusan yang sesuai dengan nalar publik. Sangat disayangkan memang, sidang MKD yang seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki citra parlemen, justru berbalik arah. Masyarakat cenderung kian pesimis permasalahan etik ini akan mampu diselesaikan. Bisa saja sidang MKD ini akan berujung kepada kompromi politik yang dianggap menguntungkan semua pihak (win win solution).
Rasa pesimis masyarakat terhadap MKD bukanlah tanpa alasan. Salah satunya adalah pandangan yang menyatakan bahwa MKD adalah mekanisme yang sarat dengan konfik kepentingan (conflict of interest), yang tidak dapat menjamin objektivitas para majelis, yang notabene anggota-anggota DPR sendiri. Jika boleh dianalogikan, bagaimana mungkin penjahat mengadili penjahat? Atau meminjam istilah beberapa pengamat, bagaimana bisa soal etik mampu diselesaikan di forum yang miskin etik? Ini terbukti dengan sikap beberapa anggota MKD yang terkesan membabi buta memberikan pembelaan terhadap Setya Novanto, yang juga kebetulan berasal dari fraksi dan partai yang sama, maupun dari sekutu politik yang lain. Wajar jika masyarakat menganggap sidang MKD tak ubahnya seperti dagelan politik yang sedang dipertontonkan.
Mengembalikan Fokus
Cukup sudah pusat perhatian publik dikunci hanya sekedar kepada sidang-sidang etik yang sedang berlangsung di MKD. Hal yang jauh lebih penting adalah, bagaimana Pemerintah meneguhkan sikap terhadap kontrak karya PT. Freeport Indonesia. Sudah puluhan tahun kekayaan alam kita dijarah oleh modal asing. Memutus atau memperpanjang kontrak karya PT. Freeport Indonesia, bukan lagi menjadi “pilihan”. Tetapi sudah bergeser menjadi keharusan untuk mengambil alih kembali kekayaan alam kita yang selama ini dikeruk habis-habisan. Mengambil alih kembali tambang emas terbesar didunia ini, bermakna mengembalikan kedaulatan bangsa Indonesia, yang sekaligus membuka ruang kemandirian ekonomi yang selama ini hilang.
Maka benar kata Soekarno, “Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu. Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bistik tetapi budak“. Freeport jelas bikin repot bangsa kita. Untuk itu tidak ada tawar-menawar lagi. Memutus kontrak karya PT. Freeport Indonesia, adalah keharusan jika ingin mengembalikan kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi bangsa kita. Sekarang tergantung keseriusan dan kebulatan tekad Pemerinta, memilih kepentingan rakyat atau memilih kepentingan modal asing . Semoga Pemerintah tidak tuli dan buta dengan harapan ratusan juta rakyat Indonesia.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, Edisi Jumat 18 Desember 2015.
Berat nih bahasannya
He…3x, ngk juga sih. Cerita tentang kuliner (Materi pokok blog mba) tak jauh beda dengan cerita kehidupan sosial kita, terutama hak masyarakat untuk mengakses Sumber Daya Alam kita yang berlimpah. Kepedulian terhadap kuliner punya porsi yang sama dengan kepedulian terhadap sesama. Salam.
Saya suka banget ama quotation ini gan “Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu. Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bistik tetapi budak“. Kayaknya ini sudah tidak ada lagi didalam benak warga negara kita gan untuk mewujudkannya. Sudah pada sibuk dengan urusan pribadi ketimbang negara.
Benar mas, prinsip kemandirian itu sudah hilang dari kepribadian bangsa kita. Tapi tetap harus ada yang optimis diantara mereka yang pesimis. Mari tetap merawat akal sehat dan kewarasan kita.