Perlindungan atas kebebasan berekspresi adalah aspek penting dalam negara yang menyebut dirinya demokratis. Charles Tilly, mengkualifikasi kebebasan berekspresi tersebut sebagai elemen penting dalam demokasi, selain elemen lain seperti pejabat yang terpilih secara demokratis (elected officials), pemilihan umum yang bebas, adil, dan bersifat periodik, informasi yang terbuka dan mudah diakses, otonomi assosiasi, hingga kewarganegaan yang inklusif (inclusive citizenship)[1]. Tumbuhnya demokrasi sangat tergantung dari ketersediaan ruang kebebasan berkekspresi. Sebab demokrasi tanpa kebebasan berekspresi adalah kemustahilan!
Bahkan dalam berbagai survei indeks demokrasi dunia, salah satu basis penilaian pentingnya adalah perlindungan terhadap kebebasan berkekspresi bagi masyarakat sipil. The Economist Intelligence Unit misalnya, menetapkan ukuran indeks demokrasi berdasarkan pada lima kategori, yaitu : proses pemilu dan pluralisme (electoral process and pluralism), fungsi pemerintahan (the functioning of government), politik partisipasi (political participation), budaya politik (political culture), dan kebebasan sipil (civil liberties)[2].
Kebebasan Berekspresi
Dalam perspektif konstitusi, Negara bertanggung jawab untuk memastikan kebebasan berekspresi warga negara dilindungi dengan baik. Ketentuan Pasal 28 juncto Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, menegaskan secara eksplisit bahwa, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Namun Pasal ini sepertinya tidak berlaku dalam Kasus Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar (Fatia-Haris). Padahal apa yang diuraiakan oleh Fatia-Haris, mengenai dugaan keterlibatan purnawirawan TNI yang kini menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dalam bisnis tambang di Intan Jaya, Provinsi Papua, adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang harus dilindungi.
Ada 2 poin penting dari uraian Fatia-Haris yang gagal dipahami, baik LBP sendiri maupun institusi penegak hukum, mulai dari penyidik kepolisian, jaksa penuntut umum, hingga pengadilan yang menyidangkan kasus ini. Pertama, apa yang disampaikan oleh Fatia-Haris, adalah laporan riset yang sebelumnya dirilis oleh Koalisi Bersihkan Indonesia yang terdiri dari YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentara Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia. Riset yang dirilis pada bulan Agustus 2021 tersebut diberi judul, “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua (Kasus Intan Jaya)”[3].
Fatia-Haris pada prinsipnya adalah corong dari hasil riset tersebut. Riset ini adalah produk ilmiah yang sesungguhnya memiliki basis data dan informasi yang memadai dan dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, jikalaupun LBP merasa data yang disampaikan Fatia-Haris tersebut tidak benar, silahkan dibantah dan diklarifikasi dengan data pula. Jadi data dibalas dengan data, hasil riset dijawab dengan hasil riset. Begitulah tradisi ilmiah kita bangun, demikianlah kemampuan berpikir kita asah. Perbedaan harus diperdebatkan, bukan dibalas laporan kepolisian dengan berlindung dibalik delik pencemaran nama baik (defamation).
Kedua, apa yang disampaikan oleh Fatia-Haris adalah bentuk kritik terhadap pejabat publik yang sarat dengan konflik kepentingan (conflict of interest). Kritik kepada pejabat publik bukan hanya boleh, tapi harus dilakukan. Dan sebagai pejabat publik, LBP seharusnya terbuka dengan kritik. Bukan justru meresponnya dengan laporan pencemaran nama baik. Bahkan jika kita baca dengan seksama, Keputusan Bersama Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UU ITE[4], maka kritik terhadap LBP harusnya tidak termasuk dalam kualifikasi pencemaran nama baik, dengan 3 alasan, yakni : tidak berlaku untuk pejabat publik, tidak berlaku terhadap produk ilmiah dalam bentuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi, dan sebuah kenyataan, dan tidak berlaku jika fakta yang dituduhkan belum dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya[5].
Melawan Hantu
Apa yang dialami oleh Fatia-Haris, mengkonfirmasi jika hantu-hantu kebebasan berekspresi bergentayangan dimana-mana. Setidaknya ada 3 hantu yang mengancam kebebasan berekspresi warga negara, yakni : Pertama, pejabat publik. Mereka ini yang paling rajin mengaktifkan delik pencemaran nama baik. Mengutip data kasus 2008-2020 yang dikumpulkan oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), menunjukkan jika aktivis, jurnalis, dan akademisi menjadi pihak yang lebih sering dilaporkan. Dan 70% dari para pelapor UU ITE tersebut, adalah kalangan pejabat publik (38%), kalangan profesi (27%) dan kalangan pengusaha (5%), sedang sisanya adalah sesama warga (29%) dan tidak jelas latarnya (1%)[6].
Kedua, aparat penegak hukum (APH). Kasus Fatia-Haris memberikan pesan jika mata rantai APH, mulai dari penyidik kepolisian, jaksa penuntut umum, hingga hakim-hakim yang mengadili perkara ini, turut berkontribusi terhadap pembatasan kebebasan berekpresi warga negara. Bahkan sedari awal, APH seolah memberikan perlakuan istimewa (privilege) terhadap kasus ini. Respon APH terhadap kasus ini, berkali lipat dibanding dengan kasus-kasus serupa lainnya. Apa karena pelapor adalah pejabat publik? Sebab ada kesan APH pilah pilih kasus (cherry picking), dimana laporan pejabat publik diproses dengan tedeng aling-aling. Ini jelas merupakan bentuk perlakuan diskriminatif yang justru semakin memperburuk citra sistem peradilan kita.
Dan Ketiga, kekuasaan. Reaksi kekuasaan cenderung permisif terhadap perkara laporan pencemaran nama baik yang dialamatkan kepada Fatia-Haris. Padahal justru kekuasaanlah yang semestinya menjadi barisan terdepan (vanguard) dalam memastikan dan memberikan jaminan kebebasan berekspresi bagi warga negaranya. Kekuasaan punya otoritas untuk menghentikan segala macam upaya pembatasan kebebasan berekpresi warga negaranya. Terlebih jika yang diduga melakukan tindakan pembatasan kebebasan berekspresi tersebut adalah pejabat publik yang notabene merupakan bagian dari dirinya sendiri. Sikap diam kekuasaan, bermakna kekuasaan juga turut serta membatasi warga negaranya. Tak ubahnya seperti hantu yang bergentayangan mencari mangsa. Hantu-hantu kebebasan berekspresi yang harus kita lawan!
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat dimedia online Kumparan.
[1] Charles Tilly. 2007. Democracy. Cambridge: Cambridge University Press. Hlm.10. Doi : http://doi.org/10.1017/CBO9780511804922.
[2] Dikutip dari laporan The Economist Intelligence Unit yang bertajuk “Democracy Index 2021: the China challenge”. Laporan ini dapat diunduh melalui link yang tersedia berikut ini : https://www.eiu.com/n/campaigns/democracy-index-2021/. Diakses pada tanggal 26 Mei 2023, Pukul 05.41 Wita.
[3] Laporan ini dapat diunduh melalui link berikut ini : https://kontras.org/wp-content/uploads/2021/08/FA-LAPORAN-PAPEDA-SPREAD.pdf, atau https://www.jatam.org/wp-content/uploads/2021/08/FA-LAPORAN-PAPEDA-SINGLE-PAGE.pdf, atau https://www.walhi.or.id/uploads/blogs/Kajian/2021%2008%2012.%20FA%20LAPORAN%20PAPEDA%20SINGLE%20PAGE.pdf. Diakses pada tanggal 26 Mei 2023, Pukul 06.20 Wita.
[4] Keputusan Bersama ini dapat diunduh melalui link berikut ini : https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2021/06/SKB-UU-ITE.pdf. Diakses pada tanggal 28 Mei 2023, Pukul 14.50 Wita.
[5] Keputusan Bersama Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UU ITE, hlm.11-12.
[6] Sumber : https://safenet.or.id/id/2021/03/revisi-uu-ite-total-sebagai-solusi/. Diakses pada tanggal 28 Mei 2023, Pukul 20.43 Wita.
Perpus Top Surabaya says
Artikel ini sangat bagus dan menarik
Herdiansyah Hamzah says
Terimakasih, panjang umur solidaritas.