Dalam sebuat kesempatan, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, melontarkan pernyataan yang cukup memancing polemik. Pernyataan ini terkait dengan penanganan kasus korupsi yang melibatkan calon kepala daerah peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2018 ini. Agus secara terbuka menyampaikan ke publik bahwa beberapa kontestan peserta Pilkada ini, berpotensi ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi. Dan dari beberapa kasus tersebut, 90 persen diyakini valid atau hampir pasti ditetapkan sebagai tersangka. Artinya, KPK tinggal mengumumkan saja peningkatan status tersangka ini kepada publik. Pertanyaannya adalah, kenapa KPK melontarkan informasi ini secara terbuka? Apa sesungguhnya pertimbangan yang mendasarinya? Disisi lain, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto, justru membuat kegaduhan baru. Wiranto meminta KPK menunda proses hukum para calon kepala daerah hingga proses Pilkada selesai. Apakah memang KPK mesti menunda proses hukum, atau jalan terus demi menjaga semangat dan komitmen pemberantasan korupsi?
Early Warning
Tidak sedikit yang beranggapan jika KPK sedang memainkan peran berbeda dari kebiasaannya selama ini. Jika biasanya KPK bekerja dalam senyap, kali ini KPK justru terkesan sedang melancarkan perang psikologis (psywar) secara terbuka terhadap calon tersangka, khusunya calon kepala daerah yang diindikasikan melakukan tindak pidana korupsi. Apakah KPK sedang menebar teror dan ancaman kepada para calon ? Tentu saja tidak. Pernyataan KPK ini seharusnya dianggap sebagai “alarm” atau semacam “early warning” terhadap calon-calon yang akan bertarung di Pilkada serentak 2018 ini. Artinya, mereka yang merasa masuk dalam radar KPK, sebaiknya bersiap-siap saja dengan kemungkinan penetapan tersangka baru. Yang berarti harus pula mempertimbangkan status pencalonannya dalam Pilkada. Disisi lain, pernyataan KPK ini juga bermakna sebagai referensi bagi publik perihal adanya calon yang integritasnya meragukan.
Baca juga : Jejak Sejarah Korupsi Di Indonesia.
Perlu dipertegas, bahwa sasaran tembak KPK sebenarnya bukanlah calon kepala daerah. Tetapi para penyelenggara Negara yang kebetulan juga ikut bertarung dalam Pilkada 2018 ini. Itu dua hal yang berbeda. Dengan demikian, hal ini juga sekaligus membantah tudingan jika KPK dijadikan sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politik tertentu dalam Pilkada. Meski demikian, pernyataan KPK ini tentu saja berimplikasi terhadap nama baik KPK. Seharusnya KPK bekerja saja dalam koridor hukum seperti biasanya. Tidak perlu mengumbar mengenai potensi. Sebab hukum tidak mengenal kalkulasi potensi. Tetapi bergerak berdasarkan fakta. Sederhananya, jika bukti-bukti memadai, segera ambil langkah-langkah hukum yang kongkrit dan terukur. Jika tidak, KPK hanya akan dituding mengumbar sensasi. Ini tentu saja menjadi bagian dari “kritik” terhadap KPK. Jikalau saja pernyataan ini tidak terbukti, maka akan menjadi pertaruhan kredibiitas KPK secara kelambagaan.
Namun di luar polemik soal pernyataan KPK ini, proses hukum bagi peserta Pilkada tentu harus kita dukung. Setidaknya dengan beberapa alasan : Pertama, proses politik dengan penegakan hukum merupakan dua hal yang terpisah. Bagaimana mungkin proses penegakan hukum justru ditentukan oleh aspek non-hukum? Bahkan pernyataan Menkopolhukam-pun, bisa dianggap sebagai intervensi politik terhadap proses hukum yang sedang ditangani oleh KPK. Jadi, biarkan saja proses hukum tetap berjalan dijalurnya sendiri. Kedua, proses hukum terhadap peserta Pilkada, akan menjadi saringan bagi lahirnya pemimpin yang bersih dan bebas korupsi. Pemilih akan disuguhkan referensi tentang siapa calon yang bersih dan tidak . Ketiga, akan lebih sulit melakukan proses hukum terhadap seseorang yang memilki kekuasaan. Ini belum termasuk kemungkinan hilangnya barang bukti jika harus menunggu Pilkada selesai terlebih dahulu.
Siapa Berikutnya?
Tanpa mendahului proses hukum, sebenarnya pertanyaan mengenai siapa saja yang masuk radar KPK untuk ditetapkan sebagai tersangka baru dalam perkara korupsi, dapat dijawab dengan nalar. Sederhananya, banyak sinyalemen yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menduga-duga, kepada siapa bedil senapan KPK hendak diarahkan. Prinsipnya, mustahil KPK menembak tikus tanpa peluru. Siapa yang menabur benih, akan menuai hasil. Tetapi jika kejahatan yang Anda tabur, maka penjara yang akan Anda tuai. Tidak mungkin menanam kacang tumbuhnya jagung. Setidaknya terdapat 5 (lima) dugaan sementara pintu masuk yang akan digunakan KPK, yakni : Pertama, transaksi mencurigakan. Basisnya tentu saja laporan PPATK. KPK dan PPATK memang sedang bekerjasama untuk melacak aliran dana seputar Pilkada serentak 2018 ini. Terdapat sekitar 368 transaksi yang mencurigakan. Saat ini, yang sudah ada hasil analisa berjumlah 34 laporan (Sumber : Kompas). Apakah para calon ada yang merasa transaksi keuangannya masuk radar PPATK? Transaksi “cash” tentu tidak masuk radar. Untuk itu, kebanyakan “mahar” atau “suap politik” yang berlabel biaya pemenangan, dilakukan secara “cash”. Bisa jadi ini adalah salah satu modus atau cara untuk mengelebui PPATK.
Kedua, mereka yang semasa atau yang masih menjabat hingga saat ini (petahana), diduga melakukan tindak pidana suap atau gratifikasi. Sebagai contoh, Bupati Kutai Kertanegara non-aktif, Rita Widyasari, diduga meminta jatah sebesar 60 juta kepada setiap pengusaha yang mengurus izin amdal (Sumber : Kompas). Diduga, transaksi ini juga terjadi disemua jenis perizinan lainnya (izin usaha pertambangan, perkebunan, sektor jasa, konstruksi, dll). Ketiga, yang paling mudah tentu saja korupsi anggaran daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dan terdapat kecenderungan, grafik penyalahgunaan (pemanfaatan) APBD setiap kali momentum elektoral Pilkada menjelang. Kuat dugaan, APBD menjadi bancakan para elit politik untuk mengumpulkan modal pertarungan di Pilkada serentak 2018. Dan ini terkonfirmasi dengan penangkapan beberapa kepala daerah terkait penyalahgunaan APBD (Sumber : Tempo).
Keempat, identifikasi perkembangan nilai harta kekayaan berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Bagi yang grafik kekayaannya meningkat secara tidak wajar, sudah pasti masuk radar KPK. Boleh saja para pernyelenggara Negara menyajikan data fiktif, tetapi KPK seharusnya punya metode yang jauh lebih efektif untuk membongkarnya. Dan Kelima, karena kemungkinan besar penetapan tersangka ini berasal dari pengembangan penyelidikan, maka sebenarnya informasi awal mengenai siapa-siapa diantara calon kepala daerah yang masuk dalam daftar tunggu KPK, dapat diprediksi. Publik tinggal melacak, daerah mana saja yang pernah didatangi oleh tim KPK dalam rangka upaya pencarian informasi tertentu. Jadi, berdasarka uraian tersebut di atas, apakah Anda termasuk yang diincar KPK atau bukan?
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Kaltim Post, edisi Selasa 27 Maret 2018.
Leave a Reply