Sudah 11 orang meninggal dibekas lubang galian tambang yang ada di Samarinda. Situasi ini tentu saja sudah termasuk dalam kategori “darurat”. Artinya, situasi darurat ini memiliki derajat kegentingan luar biasa yang membutuhkan penyelesaian dengan cepat dan tidak boleh ditunda-tunda lagi . Peristiwa yang terjadi berulang-ulang ini, setidaknya memaksa nalar publik untuk bertanya akan 2 (dua) hal : Pertama, mengapa kejadian ini terus menerus terulang? Ada kecenderungan situasi ini terus dibiarkan tanpa dapat diselesaikan. Pembiaran ini serasa mengacak-acak rasa keadilan publik, telebih bagi keluarga korban. Kedua, siapa pihak yang harus bertanggung jawab dengan kejadian ini? Kematian 11 orang ini bukanlah bencana alam. Untuk itu, menjadi mustahil ketika peristiwa ini berlalu begitu saja tanpa ada pihak yang harus ditagih pertanggungjawabannya secara hukum.
Peristiwa Pidana
Kasus meninggalnya 11 orang dibekas lubang galian tambang, bukanlah peristiwa biasa. Namun dapat dikategorikan sebagai peristiwa pidana. Artinya, harus ada pihak yang bertanggungjawab secara pidana. Seseorang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana ketika memenuhi dua unsur yakni telah melakukan perbuatan pidana (actus reus) dan padanya terdapat aspek pertanggungjawaban pidana (mens rea). Dalam kasus ini, hilangnya nyawa manusia diakibatkan oleh “kesengajaan atau kelalaian/kealpaan”. Hal ini sebagaimana dimaksud pada Pasal 359 KUHP, yang menyatakan bahwa “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.
Kealpaan atau kelalaian disini merujuk kepada 2 hal : Pertama, kelalaian akibat tidak dilaksanakannya kewajiban penanggungjawab usaha sebagaimana yang telah diperintahakan undang-undang, khususnya reklamasi dan pascatambang. Artinya, tidak dilakukannya reklamasi dan pascatambang inilah, yang mininggalkan lubang yang kemudian menyebankan hilangnya nyawa manusia. Kedua, tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian dari penanggungjawab usaha terhadap pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pascatambang. Seperti diketahui, dalam kasus ini tidak ditemukan rambu tanda berbahaya dan pagar pembatas disekitar lokasi kejadian, sebagaimana yang telah diatur dalam Keputusan Menteri Pertambangan Dan Energi Nomor : 555.K/26/M.PE/1995. Disamping itu, jarak lubang tambang juga tidak memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara, yang mengharuskan minimal 500 meter jarak tepi lubang galian dari pemukiman warga.
Dalam aspek yang lain, peristiwa pidana dalam kasus ini juga dapat terjadi akibat tidak adanya “pengawasan” terhadap ketaatan dari penanggungjawab usaha, khususnya dalam hal memastikan kewajiban reklamasi dan pascatambang. Pengawasan ini tidak hanya menjadi kewajiban dari penanggungjawab usaha secara internal, tetapi juga menjadi kewajiban Pemerintah secara eksternal. Dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan bahwa, “Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah)”.
Jika melihat posisi kasus ini, sudah jelas unsur perbuatan pidananya terpenuhi. Artinya, kasus meninggalnya 11 orang dibekas galian lubang tambang, jelas merupakan peristiwa pidana. Namun yang menjadi pertanyaan publik adalah, dari 11 kasus yang teridentifikasi sejak tahun 2011 hingga 2015, hanya 2 kasus yang telah diproses melalui peradilan pidana dan telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). Sedangkan kasus lainnya, tidak diselesaikan melalui proses peradilan pidana, tetapi melalui pemberian santunan. Padahal kita ketahui, peristiwa ini bukanlah “delik aduan” yang laporannya dapat dicabut kapan saja oleh sipengadu, tetapi menjadi delik umum yang seharusnya dapat diproses tanpa aduan sekalipun, demi mempertahankan kepentingan umum. Artinya, tidak ada alasan bagi aparat penegak hukum untuk tidak memproses kasus-kasus tersebut secara pidana demi menjawab rasa keadilan masyarakat, khususnya keluarga korban. Tidak seriusnya proses pidana dilakukan, juga akan memberikan konsekuesi tidak adanya efek jera sehingga berakibat kejadian yang berulang-ulang.
Tanggung Jawab Siapa?
Secara prinsip, perbuatan pidana tentu saja menuntut pertanggungjawaban pidana pula. Dalam kasus ini, pertanggungjawaban pidana tidak hanya dialamatkan kepada kontraktor semata sebagai pelaksana kegiatan. Namun faktanya, 2 dari total 11 kasus yang telah diproses secara pidana, cenderung hanya menyeret pelaksana kegiatan dilapangan alias kontraktor saja. Sementara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) termasuk koorporasinya, tidak tersentuh sama sekali. Meskipun dalam dokumen kontrak, tanggungjawab telah dilimpahkan kepada kontraktor, tetapi bukan berarti pemegang IUP lepas dari tanggung jawab. Artinya, tanggung jawab pemegang IUP tetap menjadi hal yang utama mengingat posisinya sebagai penggerak terhadap berjalannya kegiatan korporasi (directing mind) dari hulu ke hilir, yang memiliki kewajiban melekat terhadap kegiatan reklamasi dan pasca tambang.
Tanggung jawab pemegang IUP ini, merupakan aspek pokok dalam kegiatan usaha pertambangan. Boleh saja pemegang IUP mengalihkan pekerjaan kepada jasa usaha pertambangan atau kontraktor, tetapi tanggung jawab terhadap akibat dari kegiatan tersebut, tidak hilang begitu saja. Hal tersebut secara jelas disebutkan dalam Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menyatakan bahwa, “Dalam hal pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa pertambangan, tanggung jawab kegiatan usaha pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP atau IUPK”. Disamping itu, dalam peristiwa pidana, pertanggungjawaban pidana juga tidak semata-mata dialamatkan kepada pelaku langsung yang telah mewujudkan suatu peristiwa pidana, tetapi juga termasuk seseorang atau bahkan badan hukum dan/atau koorporasi yang memiliki “kemampuan untuk bertanggunjawab”. Dalam hal ini, pemegang IUP secara prinsip memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab untuk menjalankan kewajibannya, termasuk memastikan agar kewajiban tersebut terlaksana.
Selain kontraktor dan pemegang IUP, pertanggungjawaban juga seharusnya dialamatkan kepada Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam pengawasan kegiatan pertambangan, termasuk dalam hal kegiatan reklamasi dan pascatambang. Salah satu ketentuan pidana yang bersifat khusus (lex specialis), terkait pengawasan ini, diatur dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal ini merujuk atas ketentuan kewajiban dan tanggung jawab pengawasan oleh Pemerintah terhadap ketaatan kegiatan usaha yang telah ditentukan oleh undang-undang. Tidak dilakukannya pengawasan (kelalaian) yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, merupakan tindak pidana yang harus dipertanggungjawabkan. Sekarang bergantung keseriusan dari semua pihak, terutama aparat penegak hukum untuk menjawab rasa keadilan publik dengan mengusut tuntas kasus-kasus ini sebelum korban lainnya kembali berjatuhan.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, Edisi Rabu, 9 September 2015.
Putri says
Selamatkan Kalimantan Timur dari bencana tambang……
Herdiansyah Hamzah says
Setuju, dan solidaritas serta keteguhan sikap masyarakat yang menjadi kuncinya. Menyelamatkan Kaltim dari bencana tambang, tidak cukup jika bertumpu kepada satu atau dua lembaga saja. Tetapi membutuhkan sokongan kongkrit dari semua pihak.