Pasca empat kali amandemen UUD 1945, terdapat beragam wacana yang menguat ditengah masyarakat. Salah satu isu pokok yang kembali muncul adalah upaya amandemen yang kelima guna menyempurnakan penataan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Namun demikian, isu amandemen kelima ini hanya merupakan satu pusaran respon saja. Terdapat juga pusaran lain yang menginginkan agar UUD 1945 tetap dipertahankan. Disamping itu, terdapat juga kalangan yang ingin megembalikan UUD 1945 kenaskah aslinya atau sebelum amandemen.
Pendekatan Perubahan
Hukum pada dasarnya harus kita tempatkan sebagai kerangka proses yang terus mengalami perkembangan (law in the making). Hukum bukanlah dogma yang bersifat final. Hukum tentu saja akan bergerak secara simultan sesuai dengan tuntutan zamannya (continue on progress). Maka dari itu, perubahan adalah keniscayaan. Akan tetapi, perubahan tersebut harus ditakar hendak bergerak kemana, apakah bergerak lebih baik atau justru menghasilkan kemunduran? Menjadi penting membangun dinamika berdiskusi yang mendalam dan penuh ketelitian agar perubahan yang dikehendaki menjadi tepat sasaran.
Memang benar bahwa salah satu lembaga yang dengan gigih mendorong isu amandemen kelima adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun banyak pihak yang menganggap bahwa upaya ini sangat dilatarbelakangi oleh kepentingan DPD untuk menguatkan legitimasinya yang lemah dalam UUD NRI Tahun 1945. Namun penulis tidak ingin terjebak kedalam pusaran isu tersebut. Secara prinsip, jikalaupun salah satu isu amandemen adalah penguatan lembaga DPD, itu dikarenakan kebutuhan adanya penguatan sistem check and balance sistem ketatanegaraan kita.
Menurut Mahfud MD, kebutuhan baru akan amandemen saat ini, harus didasarkan kepada beberapa hal, antara lain : Pertama, meningkatkan kualitas demokrasi. Kedua, memaksimalkan manfaat DPD sebagai lembaga Negara yang tingkat legitimasinya tinggi. Ketiga, meningkatkan check and balances. Dan Keempat, memperbesar saluran aspirasi daerah (Sumber : Mahfud MD). Keempat hal yang disampaikan oleh Mahfud inilah yang menjadi dorongan utama terhadap rencana amandemen kelima sebagai sebuah kebutuhan untuk perubahan.
Secara umum, setidaknya terdapat tiga pendekatan perubahan terhadap isu amandemen kelima ini, yakni : Pertama, pendekatan kesejarahan (historical approach), yakni bahwa UUD 1945 didesain oleh para pendiri negara dalam situasi tergesa-gesa. Kedua, pendekatan substansi atau isi (content approach), yakni bahwa UUD 1945 memiliki keterbatasan dan kelemahan yang tidak dapat dipakai sebagai rujukan konstitusional yang memadai. Dan Ketiga, pendekatan social budaya (socio-cultural approach), yakni bahwa desakan untuk melakukan amandemen, gencar dilakukan oleh beragam kelompok masyarakat.
Penataan Sistem Ketatanegaraan
Sebagaimana disinggung sebelumnya, maka isu terhadap amandemen kelima harus dipandang dari pendekatan perubahan. Pendekatan yang mengharuskan kita untuk melihat isu amandemen tersebut kearah yang lebih baik berdasarkan kebutuhan. Dan salah satu kebutuhan yang urgen saat ini adalah penataan sistem ketatanegaraan. Terdapat beberapa hal krusial menyangkut penataan sistem ketatanegaraan, yang penulis bagi dalam lima aspek, yakni penataan fungsi lembaga Negara, hubungan pusat dan daerah, sistem pemilu, kekuasaan kehakiman serta problem Hak Asasi Manusia dan Kesejahteraan Sosial.
Penataan fungsi dan kewenangan lembaga Negara sesungguhnya bersandar dari pengalaman praktek yang selama ini mengalami tafsir yang berbeda-beda. Sebut saja konflik yang pernah terjadi antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, akibat tafsir kewenangan yang berbeda diantara kedua lembaga. Atau posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang cenderung inferior terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPD dianggap sumir atau kurang memiliki legitimasi dalam menjalankan fungsi legislasi. Naman pada prinsipnya, “perseteruan” antara MA dan KY ataupun DPD dan DPR, adalah akibat UUD 1945 yang tidak secara rinci mengatur tugas dan kewenangan masing-masing lembaga.
Hal yang cukup penting untuk ditegaskan dalam skema penataan sistem ketatanegaraan kita adalah fungsi dan kewenangan antara DPD dan DPR. Sistem bikameral yang berlaku saat ini, dianggap kurang mampu menyeimbangkan fungsi dan kewenangan dari kedua lembaga. Sistem bikameral atau dua kamar yang kita anut, cenderung mengarah kepada pola “soft bicameralism“, bukan dalam wujud “strong bicameralism“. Artinya, pola hubungan antara DPD dan DPR belum mengarah kepada sistem check and balances secara utuh. Hal ini terbukti dengan masih lemahnya DPD secara kelembagaan terhadap DPR, baik dalam hal legislasi, anggaran maupun pengawasan.
Hal lain yang cukup urgen dalam penataan sistem ketatanegaraan kita adalah belum berjalannya sistem presidensial secara utuh. Terdapat corak parlementer yang cenderung masih dominan, atau yang diistilahkan dengan “quasi parlementer“. Hal tersebut terlihat dari kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), khususnya dalam mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Ini menandakan bahwa MPR masih menjadi lembaga “supra“ akibat kewenangannya tersebut. MPR seharusnya dipandang hanya sebagai lembaga yang bersifat “joint session”, sejak keberadaan DPD dan DPR. Artinya, keberadaan MPR (jikalau diperlukan) hanya sebagai lembaga ad-hoc yang dibentuk jika DPD dan DPR akan melakukan sebuah perubahan terhadap Undang-Undang Dasar.
Disamping itu, sistem pemilihan umum (Pemilu) juga menjadi sorotan dalam isu amandemen UUD 1945. Setidaknya terdapat tiga isu pokok terkait pemilu, yakni : Pertama, pemilihan kepala daerah yang mengalami pergeseran dari rezim pemenrintahan daerah ke rezim pemilu. Konsekuensinya, perlu adanya penambahan frase Kepala Daerah dan Wakil Kepada Daerah, sebagai bagian dari sistem pemilu di Indonesia. Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi terkait pemilu serentak antara pemilu legislatif dan presiden/wakil presiden. Putusan MK ini sesungguhnya memberikan ruang terhadap menguatnya kembali isu calon presiden perseorangan (independen).
Banyak hal lain yang menjadi pokok isu amandemen UUD 1945, termasuk diantaranya mengenai otonomi daerah yang menegaskan pola hubungan pusat dan daerah, kekuasaan kehakiman khususnya kewenangan Mahkamah Konstitusi beserta bentuk pengawasannya, penambahan pasal krusial terkait HAM (perempuan, pekerja, pers, dll), mekanisme sanks terhadap pelanggaran konstitusi, hingga teknis perubahan atau amandemen yang perlu ditata ulang dalam UUD 1945. Keseluruhan isu amandemen tersebut, memerlukan kajian yang mendalam dan komprehensif, sebab ini menyangkut bangunan sistem ketatanegaraan kita dimasa yang akan datang.
Materi ini dipresentasikan di acara Dengar Pendapat Umum dengan tema, “Penataan Sistem Ketatanegaraan Melalui Perubahan UUD NRI Tahun 1945“. Kerjasama MPR-RI dengan FKIP Unmul, Samarinda 17 Maret 2014.
siiipp 🙂
Terimasih, semoga bermanfaat. Perubahan itu keniscayaan. Tinggal bagaimana kita mengarahkan nalar agar perubahan itu memberikan manfaat yang lebih baik, bukan justru sebaliknya.
Artikelnya sangat bagus mas,, sangat bermanfaat isinya…..
mampir dan silaturahmi juga ya diblog sederhana saya….
Harga sony experia l terbaru.
Info kontes SEO Hadiah total 2 juta rupiah 2014.
Harga sony experia C3 terbaru.
Harga sony experia T3 terbaru.
Harga Blacckberry z30 terbaru.
Daftar Harga Hp Mito Andorid terbaru.
Daftar Harga Hp Huawei Andorid terbaru.
Daftar Harga Hp BB Blackberry terbaru.
Daftar Harga Hp Nokia Semua Series terbaru.
Daftar Harga Hp Asus Semua Series terbaru.
Daftar Harga Hp Samsung Android terbaru.