Polemik perihal cuti kampanye Walikota Balikapan, Rizal Effendi, berakhir setelah Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, menandatangani surat izin cuti bagi Calon Wakil Gubernur tersebut, untuk keperluan kampanye Pemilihan Kepala Daerah Kaltim tahun 2018. Cuti di luar tanggungan Negara ini berlaku mulai tanggal 7 Maret 2018 hingga berakhirnya masa kampanye Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kalimanta Timur pada tanggal 23 Juni 2018 nanti. Untuk mengisi kekosongan jabatan Walikota Balikpapan, selanjutnya akan diisi oleh Rahmad Mas’ud sebagai Pelaksana Tugas (Plt) selama Rizal menjalani masa kampanye. Mekipun secara teknis polemik tersebut telah usai, tetapi serasa masih ada yang mengganjal dan perlu penjelasan ke publik. Tertuma untuk menjawab 2 (dua) hal : Pertama, mengapa Kepala Daerah yang mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) hanya diwajibkan untuk mengajukan cuti di luar tanggungan Negara selama menjalani masa kampanye? Kedua, bagaimana proses pengisian kekosongan jabatan Kepala Daerah yang sedang menjalankan cuti kampanye?
Mundur atau Cuti?
Dalam ketentuan persyaratan calon, tidak ada kewajiban bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota (Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah), untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Kecuali Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah tersebut mencalonkan diri di daerah lain, maka mutlak harus mengundurkan diri dari jabatannya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf p Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada), yang menegaskan bahwa salah satu persyaratan calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, adalah berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon.
Lantas bagaimana cara menafsirkan “daerah lain” dalam ketentuan tersebut? Apakah ketentuan mengenai “daerah lain” ini berlaku bagi seorang Bupati atau Walikota yang mencalonkan diri sebagai Gubernur, meski berada di Provinsi yang sama? Secara teknis, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara, sudah menegatur ketentuan mengenai klausul “daerah lain” ini dengan lebih rigid. Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf q Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, menyebutkan mengenai ketentuan untuk berhenti dari jabatannya sejak ditetapkan sebagai calon bagi : Pertama, Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota yang mencalonkan diri sebagai Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota di kabupaten/kota lain. Kedua, Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota yang mencalonkan diri sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur di provinsi lain. Ketiga, Gubernur atau Wakil Gubernur yang mencalonkan diri sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur di provinsi lain.
Jadi kesimpulannya, Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, sepanjang tidak mencalonkan diri di daerah lain, maka tidak harus mundur dari jabatannya. Namun demikian, Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah yang mencalonkan diri di daerah yang sama, diharuskan untuk menjalani cuti di luar tanggungan Negara selama masa kampanye. Hal ini diatur dalam Pasal 70 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang menyebutkan bahwa “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi 2 ketentuan yakni : menjalani cuti di luar tanggungan negara, dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya”. Dengan demikian, uraian ini seharusnya sudah menjawab polemik soal apakah Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah yang mencalonkan diri harus mundur dari jabatan atau cukup dengan menjalani cuti selama masa kampanye.
Perihal Pelaksana Tugas
Selain mundur dan cuti, soal siapa Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Daerah selama menjalani cuti masa kampanye juga menjadi polemik. Siapa yang akan melaksanakan tugas Kepala Daerah? Bagaimana jika Kepala Daerah dan Kepala Daerah sama-sama mencalonkan diri dan menjalani cuti selama masa kampanye? Sebagai tindak lanjut dari penjabaran Pasal 70 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang mengatur mengenai cuti kampanye, maka dikeluarkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 74 Tahun 2016 sebagaimana yang telah diubah melalui Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cuti Di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota. Dalam Pasal 4 ayat (1) Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 ini, disebutkan bahwa, “Selama Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota menjalani Cuti di Luar Tanggungan Negara, ditunjuk Pjs Gubernur, Pjs Bupati, dan Pjs Walikota sampai selesainya masa kampanye”.
Artinya, ketentuan Pasal ini secara eksplisit menegaskan bahwa, jika Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara bersamaan mencalonkan diri dan menjalani cuti kampanye, maka selama menjalani masa cuti tersebut, akan ditunjuk Pejabat Sementara (Pjs) untuk melaksanakan tugas Kepala Daerah. Jika diperhatikan secara seksama kalimat dalam Pasal 4 ayat (1) Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 tersebut, maka frase “dan” harus dipahami sebagai kondisi dimana subjek maupun objek yang dimaksud sebelum dan sesudah kata “dan”, harus terpenuhi kedua-duanya. Lain halnya dengan frase penghubung “atau”, dimana hanya mensyaratkan salah satunya. Berbeda lagi dengan frase penghubung “dan/atau” yang dapat dimaknai “dan”, tetapi dapat pula dimaknai “atau”. Sementara tanda “/” berarti opsi pengggunan atau pilihan terhadap salah satu kata tersebut, baik “dan” maupun “atau”.
Jadi, ketentuan mengenai Pjs ini hanya berlaku jika Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara bersamaan menjalani masa cuti di luar tanggungan Negara. Sementara jika hanya Kepala Daerah yang menjalani masa cuti di luar tanggungan Negara, maka wakil Kepala Daerah melaksanakan tugas sebagai Plt Kepala Daerah hingga masa cuti di luar tanggungan Negara Kepala Daerah selesai dijalani. Untuk menegaskan perbedaan Pjs dan Plt ini, mari kita baca pengertian Pjs dalam Pasal 1 angka 6 Permendagri Nomor 1 Tahun 2018, yang menyebutka bahwa “Penjabat Sementara yang selanjutnya disingkat Pjs adalah pejabat tinggi madya/setingkat atau pejabat tinggi pratama yang ditunjuk oleh Menteri untuk melaksanakan tugas Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota karena Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota cuti di luar tanggungan Negara untuk melaksanakan kampanye Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota”.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, edisi Senin 17 Maret 2018
Leave a Reply