Beberapa waktu belakangan ini, publik dikejutkan dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yang memotong hukuman Jaksa Pinangki Sirna Malasari, dari 10 Tahun menjadi 4 Tahun, atau diberi diskon sekitar 60 persen (Sumber : Kompas). “Bahwa terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesi sebagai jaksa. Oleh karena itu ia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik” demikian disebutkan dalam laman putusan Mahkamah Agung (MA). Pertimbangan ini jelas tidak masuk akal dan bertentangan dengan nalar keadilan publik. Bagaimana mungkin aparat penegak hukum yang justru melanggar hukum, hanya hanya dijatuhkan vonis ringan oleh pengadilan? Pinangki sendiri terbukti melakukan 3 perbuatan tercela sekaligus, yakni suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat.
Musim Diskon
Setelah Pinangki, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga memberikan diskon hukuman bagi Joko Sugiarto Tjandra. Dalam perkaran ini, Joko Tjandra sendiri diketahui sebagai penyuap Pinangki sebesar 500.000 USD atau sekitar 7 miliar rupiah, untuk mengurus fatwa MA agar dia tidak perlu menjalani vonis 2 tahun penjara dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali (Sumber : Tempo). Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memberikan diskon 1 tahun hukuman bagi Joko Tjandra dari yang sebelumnya 4,5 tahun, menjadi 3,5 tahun. Setali tiga uang dengan Pinangki, alasan pengurangan hukuman kepada Joko Tjandra juga sulit diterima oleh nalar sehat. Dia dianggap sudah menjalani hukuman terkait korupsi Bank Bali dan telah mengembalikan Rp 540 miliar. Bagaimana mungkin orang yang sedang buron, dan melakukan pengulangan tindak pidana korupsi dengan menyuap aparat penegak hukum, justru mendapatkan vonis ringan?
Baca juga : Jejak Sejarah Korupsi Di Indonesia.
Selain Pinangki dan Joko Tjandra, obral diskon hukuman juga diberikan kepada koruptor lainnya. Mulai dari mantan Menteri Sosial Idrus Marham (60%), mantan Bupati Talaud, Sri Wahyumi Manali (15%), bahkan hingga putusan bebaas MA yang diberikan kepada terdakwa kasus BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung (Sumber : Kompas). Ini belum termasuk diskon untuk mantan Ketua DPD Irman Gusman, mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, pengacara OC Kaligis, adik mantan Menpora Andi Mallarangeng, Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel Mallarangeng, dan lainnya. Perkara diskon hukuman bagi koruptor, bukanlah kali pertama terjadi di sistem pengadilan kita. Itu sudah berlangsung lama. Hanya saja, 2-3 tahun belakangan ini menjadi sangat marak, bahkan bisa disebut tidak terkendali. Jadi diskon hukum bagi Pinangki dan Joko Tjandra, hanya menambah daftar panjang diskon hukuman bagi pra koruptor. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak 134 terdakwa korupsi dibebasakan ataupun dipangkas hukumannya di tingkat kasasi dan peninjauan kembali di MA. Ini brelangsung dalam kurung waktu 2019-2020. Sedangkan untuk periode Januari-Juli 2021 itu, terdapat lebih dari 10 terdakwa korupsi yang hukumannya dipangkas, baik di tingkat pengadilan tinggi maupun di MA (Sumber : Tempo).
Faktor Pemicu
Setidaknya terdapat 3 (tiga) alasan mengapa diskon hukuman bagi para koruptor ini menjadi tidak terkendali. Pertama, hilangnya fungsi KPK sebagai “trigger” bagi lembaga lain. Ini seiring dengan revisi UU KPK, yang menjadikan KPK tumpul dan kehilangan arah pemberantasan korupsi. KPK kini, bukanlah seperti lembaga yang kita kenal dulu. KPK kini hanya ramai dengan segala rupa kontroversinya, bukan kinerja pemberantasan korupsinya. KPK tidak ubahnya mayat hidup, yang kendatipun secara fisik masih ada, namun roh dan jiwa pemberantasan korupsinya, sudah hilang sama sekali. Implikasinya, bukan hanya KPK yang kehilangan kewibawaan, namun perkara korupsi hari ini tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Walhasil, vonis para koruptor yang setidaknya dulu lebih berat, kini mengalami tren penurunan secara drastis. Lumpuhnya KPK, berkorelasi langsung dengan tren vonis ringan koruptor yang kini sedang melanda Negara kita.
Baca juga : Obral Remisi Koruptor.
Berdasarkan data ICW, sejak revisi UU KPK, memang terjadi peningkatan jumlah tuntutan ringan bagi para terdakwa kasus korupsi. Tahun 2020 jumlah terdakwa kasus korupsi yang dituntut ringan sebanyak 736 orang, lebih banyak dari tahun sebelumnya yang berjumlah 699 orang. Bahkan rata-rata vonis kasus korupsi pada tahun 2020 dari total 1.219 perkara, hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Sebanyak 760 terdakwa divonis di bawah 4 tahun penjara, sedangkan vonis berat hanya hanya dikenakan kepada 18 terdakwa. Lebih parahnya lagi, vonis bebas pada tahun 2020, adalah yang terparah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Total terdakwa yang divonis bebas pada tahun 2020 sebanyak 66 orang, jauh lebih tinggi dibanding tahun 2019 sebanyak 54 orang, tahun 2018 sebanyak 26 orang, dan tahun 2017 sebanyak 35 orang (Sumber : Tempo). Ini menunjukkan betapa lembaga peradilan kita juga kehilangan arah dan komitmen pemberantasan korupsinya.
Kedua, pensiun atau purna tugasnya Artidjo Alkostar. Faktor ini juga kerap kali disebut sebagai “Artidjo effect”. Hal tersebut rasanya sulit dibantah, mengingat sejak almarhum Artidjo Alkostar pensiun sebagai hakim agung di MA pada 22 Mei 2018, para koruptor memang berbondong-bondong mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Berdasarkan data ICW, pada tahun 2020 terdapat 14 terpidana kasus korupsi yang mendapatkan pengurangan hukuman dari proses PK di Mahkamah Agung. Salah satu yang paling fenomenal adalah pengurangan hukuman yang diperoleh oleh Anas Urbaningrum dari 14 tahun penjara menjadi 8 tahun (Sumber : Kompas). Semasa masih menjabat sebagai hakim agung MA, Artidjo memang dikenal tidak sungkan menjatuhkan vonis berat kepada para koruptor, tanpa pandang bulu. Sayangnya, standar yang ditinggalkan oleh Artidjo tersebut, bisa dibilang gagal diwarisi oleh hakim-hakim pengadilan kita hari ini.
Ketiga, komitmen atau gelora pemberantasan korupsi yang melemah. Bahkan hari ini, aparat penegak hukum justru cenderung membiarkan diskon hukuman ini diperoleh oleh para koruptor, dibanding tegak lurus membela kepentingan negara, dengan menggunakan segala cara yang tersedia, untuk menghukum para koruptor seberat-beratnya. Dalam kasus diskon hukuman Pinangki oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta misalnya, bahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) memilih untuk tidak mengajukan permohonan kasasi di MA. Alasannya lagi-lagi tidak bisa diterima oleh nalar publik. JPU berpandangan jika tuntutannya sudah terpenuhi dalam putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (Sumber : Kompas). Sikap untuk tidak mengajukan permohonan kasasi ini, tidak pernah kita temui sebelumnya. Dulu, JPU gigih berjuang untuk menuntut hukuman berat bagi para koruptor. Tapi jika dilacak kronologis kasus Pinangki, sikap JPU ini tidaklah mengherankan. Sebab pada saat perkara masih di tingkat pengadilan tindak pidana korupsi (Tpikor) Jakarta, JPU hanya menuntut 4 tahun bagi Pinangki. Tuntutan yang terbilang rendah dibanding tuntutan maksimal yang seharusnya bisa diajukan oleh JPU.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Disway Kaltim, edisi Jum’at 13 Agustus 2021. Sumber gambar : ajnn.net.
Leave a Reply