Beragam studi menunjukkan bahwa kehancuran demokrasi pasca gelombang ketiga demokrasi (democracy’s third wave), tidak lagi disebabkan oleh kekuatan militer sebagaimana yang kerap terjadi dimasa lampau. Namun kehancuran demokrasi ini justru diakibatkan oleh para elit politik yang terpilih secara demokratis melalui proses pemilihan umum (electoral process). Salah satu studi yang memperkuat hipotesa ini adalah apa yang diuraikan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam karyanya yang berjudul “How Democracies Die”. Menurut Levitsky dan Ziblatt, “Sejak akhir perang dingin, sebagian besar kehancuran demokrasi disebabkan bukan oleh jenderal dan tentara, tetapi oleh pemerintah terpilih itu sendiri. Kemunduran demokrasi hari ini dimulai pada kotak suara”[1].
Samuel P. Hungtinton dalam “Democracy’s Third Wave”, menguraikan kekhawatiran terbesarnya terhadap fenomena kehancuran demokrasi yang justru berada di tangan elit politik yang terpilih secara demokratis tersebut. Menurut Huntington, “Gelombang ketiga revolusi demokrasi global di akhir abad ke-20, tidak akan bertahan selamanya. Dilihat dari catatannya masa lalu, terdapat dua faktor paling menentukan yang mempengaruhi masa depan konsolidasi dan perluasan demokrasi tersebut, yakni pembangunan ekonomi dan kepemimpinan politik”[2]. Kemunduran demokrasi di Indonesia, mengkonfirmasi kekhawatiran Huntington tersebut. Dalam laporan indeks demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit, indeks demokrasi Indonesia bahkan diklaim yang terendah dalam 14 tahun terakhir[3].
Legidiot
Salah satu bentuk nyata dari penghancuran demokrasi yang dilakukan oleh elit politik hasil pemilu, adalah produk perundang-undangan (legislasi) yang semakin menjauh dari partisipasi dan kepentingan publik. Legislasi sendiri dimaknai sebagai, “undang-undang atau seperangkat undang-undang yang diusulkan oleh pemerintah dan dibuat resmi oleh parlemen”[4]. Dalam konteks Indonesia, legislasi ini diproduksi bersama oleh DPR dan Pemerintah. Menurut Jeremy Bentham, kebaikan publik hendaknya menjadi tujuan legislator; manfaat umum menjadi landasan penalarannya. Mengetahui kebaikan sejati masyarakat adalah hal yang membentuk legislasi; ilmu tersebut tercapai dengan menemukan cara untuk merealisasikan kebaikan tersebut[5]. Namun sayang, kebaikan publik sebagai roh legislasi ini yang tidak kita temukan belakangan ini.
Ruang partisipasi publik pun seolah tertutup rapat. Padahal elemen penting yang tidak boleh dinafikan dalam proses legislasi adalah partisipasi publik. Dalam ratio decidendi putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian UU Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa untuk membangun partisipasi publik yang lebih bermakna (meaningful participation), maka setidaknya harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu: Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas[6].
Hak untuk didengarkan, dipertimbangkan, serta mendapatkan penjelasan atas pendapatnya, semakin menjauh dari jangkauan publik. Dalam proses legislasi yang ugal-ugalan, tentu saja akan menutup ruang partisipasi itu. Oleh karenanya, jika Urban Dictionary memperkenalkan istilah “Covidiot” sebagai “seseorang yang mengabaikan peringatan tentang kesehatan atau keselamatan publik dimasa pandemi Covid-19”[7], maka produk legislasi yang dibuat secara ugal-ugalan, mengabaikan partisipasi rakyat, serta cenderung dibuat hanya untuk kepentingan pemilik modal, patut disebut sebagai “Legidiot”. Istilah tersebut merupakan gabungan kata “Legislasi” dan “Idiot”, yang merepresentasikan problem kecerdasan berpikir yang sangat rendah dari pembentuk undang-undang.
Pembajakan Legislasi
Proses legislasi sedang dibajak oleh elit politik yang terpilih secara demokratis. Bahayanya, produk legislasi yang dibuat, pada akhirnya hanya akan mengikuti selera subjektif kekuasaan. Bahkan “kejahatan” sekalipun, akan menjadi legal dengan “stempel resmi” DPR dan Pemerintah tersebut. Legislasi dicitrakan sebagai produk hukum yang turun dari kayangan, padahal baik segi formil maupun materiil, justru mengandung banyak persoalan krusial yang berdampak terhadap kualitas legislasi kita. Apa yang semestinya diperuntukkan bagi kepentingan publik, kini dibajak oleh elit politik untuk kepentingan para pemilik modal. Apa yang disebut Bentham sebagai “kebaikan publik yang mendasari proses legislasi” itu, raib dari produk legislasi yang dilahirkan. Bahkan prosesnya menyerupai “kacamata kuda” yang berjalan lurus tanpa pernah peduli dengan kritik publik. Mulai dari revisi UU KPK, revisi UU Minerba, revisi UU MK, UU Cipta Kerja dengan pendekatan omnibus law, hingga RUU IKN. Semua dikebut dengan cara-cara yang sama.
DPR dan Pemerintah tidak lagi bertindak mewakili kepentingan publik, tapi bekerja untuk kepentingan pemilik modal. Proses legislasi kita dibajak oleh elit politik, sehingga menjauhkan publik dari produk undang-undang yang notabene akan memberi dampak terhadap kehidupannya. Pada akhirnya, produk legislasi hanya akan menguntungkan para elit politik dan entitas bisnis yang berada dibaliknya. Kelompok yang selama ini menyandera negara (state capture) dan mengontrol produk legislasi agar menguntungkan kepentingan bisnisnya semata. Jika melihat komposisi anggota DPR yang sebagian besar berasal dari kelompok pebisnis, maka tidak mengherankan jika produk legislasi kita juga lebih menguntungkan para pemodal. Dari 575 anggota DPR, 262 memiliki latar belakang sebagai pengusaha. Mereka tercatat memiliki saham, menjabat komisaris, hingga menduduki kursi direksi di 1.016 perusahaan[8]. Ini belum termasuk para pebisnis yang berada di lingkaran kekuasaan Pemerintah.
Menurut Dario Castiglione dan Mark Warren dalam “Rethinking Democratic Representation: Eight Theoretical Issues”, salah satu karakteristik penting dari perwakilan yang demokratis adalah kekuasaan politik yang dilaksanakan secara bertanggung jawab dan akuntabel dengan memberikan kesempatan pada warga negara untuk dapat mempengaruhi dan melakukan kontrol terhadapnya[9]. Namun karakter ini tidak kita temukan dalam lembaga perwakilan kita, termasuk dalam proses legislasi. Produk legislasi yang dihasilkan, jauh dari pengaruh dan kontrol publik. Bukan karena publik enggan menggunakan fungsi kontrolnya. Tapi karena mekanisme kontrol itu ditutup rapat-rapat oleh mereka yang justru menyebut dirinya sebagai “wakil rakyat”. Legislasi kita benar-benar telah dibajak oleh DPR dan Pemerintah.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Kaltim Post, edisi Selasa 15 Februari 2022.
[1] Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. 2018. Bagaimana Demokrasi Mati. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm.xi.
[2] Samuel P. Huntington. 1991. Democracy’s Third Wave. Journal of Democracy 2 (2), page.12-34. doi:10.1353/jod.1991.0016. Dokumen ini dapat diakses melalui link berikut ini : https://www.ned.org/docs/Samuel-P-Huntington-Democracy-Third-Wave.pdf. Diakses pada tanggal 08 Februari 2022, Pukul 20.45 Wita.
[3] Dikutip dari laporan The Economist Intelligence Unit yang bertajuk “Democracy Index 2020 : In sickness and in health?”. Laporan ini dapat diunduh melalui link yang tersedia berikut ini : https://www.eiu.com/n/campaigns/democracy-index-2020/. Diakses pada tanggal 08 Februari 2022, Pukul 21.28 Wita.
[4] Sumber : https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/legislation. Diakses pada tanggal 08 Februari 2022, Pukul 21.38 Wita.
[5] Jeremy Bentham, 2010. Teori Perundang-Undangan : Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdatan dan Hukum Pidana. Bandung : Penerbit NUANSA dan Penerbit NUSAMEDIA. Hal. 25.
[6] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, hlm.393.
[7] Sumber : https://www.urbandictionary.com/define.php?term=Covidiot. Diakses pada tanggal 08 Februari 2022, Pukul 21.49 Wita.
[8] Sumber : https://data.tempo.co/data/494/para-pengusaha-yang-duduk-dikursi-dpr. Diakses pada tanggal 09 Februari 2022, Pukul 08.56 Wita.
[9] Dario Castiglione and Mark E. Warren. “Rethinking Democratic Representation: Eight Theoretical Issues”. Dituliskan sebagai bahan seminar bertajuk “Rethinking Democratic Institution”, yang diselenggarankan oleh Centre for the Study of Democratic Institutions, University of British Columbia, May 18-19, 2006, page.2. Dokumen ini dapat diakses melalui link berikut ini : https://1library.co/document/wye6kx1q-rethinking-democratic-representation-eight-theoretical-issues.html. Diakses pada tanggal 09 Februari 2022, Pukul 10.21 Wita
Leave a Reply