Tergelitik untuk mengomentari perselisihan internal Partai Golkar terkait pergantian pimpinan (ketua) DPRD Samarinda. Beritanya dapat dibaca di Sini dan di Sini. Saya berusaha seobjektif mungkin memberikan pandangan dalam kacamata hukum tata negara, tanpa tendensi keberpihakan kepada pihak manapun. Ada beberapa catatan saya terkait persoalan ini.
Pemberhentian pimpinan DPRD sebelum masa jabatannya berakhir, dapat dilakukan dengan 4 alasan, yakni : meninggal dunia, mengundurkan diri, diberhentikan sebagai anggota DPRD dan diberhentikan sebagai pimpinan DPRD. Dalam kasus ini, ketua DPRD Samarinda diusulkan untuk diberhentikan oleh partai politik yang bersangkutan. Dan itu menjadi hak partai politik sebagaima dirujuk pada Pasal 42 ayat (3) huruf b PP Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Pernyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD. Lantas bagaimana jika yang bersangkutan keberatan alias menolak untuk diberhentikan?
Disinilah letak polemiknya. Ketika yang bersangkutan keberataan terhadap keputusan partai yang mengusulkan pemberhentiannya sebagai ketua DPRD, maka ini dikategorikan sebagai “perselisihan partai politik”. Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, secara eksplisit menyebutkan bahwa cakupan perselisihan Partai Politik meliputi : perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan, pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik, pemecatan tanpa alasan yang jelas, penyalahgunaan kewenangan, pertanggungjawaban keuangan, dan/atau “keberatan terhadap keputusan Partai Politik”.
Untuk itu, penyelesaian terhadap perselisihan ini harus dilakukan secara internal melalui “Mahkamah Partai Politik” dalam waktu 60 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Terkecuali jika penyelesaian perselisihan tidak tercapai, maka proses berikutnya diserahkan kepada Pengadilan Negeri (PN) untuk paling lama 60 hari. Putusan PN merupakan putusan ditingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi paling lama 30 hari (Lihat Pasal 33 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik).
Inilah proses formil yang harus ditempuh sebelum pemberhentian ketua DPRD dilakukan dalam rapat paripurna, untuk ditetapkan melalui Keputusan DPRD. Jika proses penyelesaian perselisihan tersebut tidak dilakukan melalui mekanisme yang disebutkan di atas, dan DPRD bersikeras menetapkan keputusan pemberhentian tersebut, maka keputusan itu rentan digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dan konsekuensinya adalah, keputusan DPRD tersebut lemah dalam argumentasi prosedural.
Jalan keluar terbaik sebenarnya adalah “penyelesaian internal”. Dimana kedua pihak yang berselisih seharusnya saling berunding untuk mendapatkan solusi terbaik yang saling menguntungkan masing-masing pihak. Ini juga sekaligus memberikan contoh edukasi politik yang baik bagi publik. Disamping itu, partai politik dalam mengambil tindakan yang berdampak terhadap kader-kadernya, jangan semata-mata hanya berdasarkan like and dislike. Tetapi harus dengan argumentasi logis dan berbasis evaluasi kinerja. Sebab kader partai yang mengisi pos-pos pimpinan dilembaga negara, bermakna sudah dihibahkan bagi kepentingan publik. Artinya tidak lagi an sich milik partai politik semata.
Pandangan ini sebelumnya sudah diulas dan dimuat di Tribun Kaltim, yang dapat dibaca di Sini. Dipublikasikan ulang sebagai arsip pribadi.
Budiawan says
Kalau mentok di mahkamah partai, berarti dibawa kepengadilan ya? Bakal panjang ceritanya. Gimana tuh?
Herdiansyah Hamzah says
Mas budiawan, ketentuan mengenai mahkamah partai dalam UU 2/2011, memang aneh menurut saya. Satu sisi putusan mahkamah partai disebutkan bersifat final dan mengikat (lihat pasal 32 ayat 5), tetapi makna final dan mengikatnya menjadi gugur ketika membaca pasal berikutnya, jika penyelesaian tidak tercapai maka akan diselesaikan melalui pengadilan negeri. Soal waktu, jika ditotal dari mahkamah partai, PN hingga ke kasasi MA, maka dibutuhkan waktu sekitar 150 hari.