Tidak bisa dipungkiri, Pemilihan Legislatif (Pileg) memiliki daya tarik yang kuat. Tidak hanya an sich politisi yang ikut bertarung memperebutkan jabatan anggota DPRD ini, namun juga terdapat nama-nama yang sejatinya berasal dari background ASN/PNS, pengusaha, kalangan profesional seperti lawyer dan notaris, hingga akademisi. Beberapa bahkan rela meletakkan status sebagai ASN/PNS untuk turut bertarung dalam Pileg 2019 ini. Keikutsertaan mereka, tentu saja dengan beragam motivasi yang berbeda-beda. Apa sesungguhnya yang dikejar? Apakah semata-mata untuk menguji komitmen terhadap perjuangan perbaikan kesejahteraan rakyat? Atau ada faktor X yang sadar atau tidak sadar, tengah menjangkiti para bakal calon anggota legislatif (caleg) ini? Setidaknya terdapat 5 faktor yang mendorong motivasi seseorang untuk maju dan bertarung dalam politik elektoral Pileg ini.
Pertama, saya masih optimis bahwa dorongan terbesar seseorang untuk maju di Pileg ini adalah soal “kehendak perubahan”. Motivasi ini terutama datang dari kalangan muda dan kelompok rentan seperti perempuan, disabilitas, buruh, dll. Ada satu titik kejenuhan terhadap perilaku elit hari ini, yang mendorong generasi muda dan kelompok rentan untuk terlibat dalam kontestasi ini. Saya masih meyakini, bahwa ditengah pesimisme atas kondisi bangsa dan daerah hari ini, masih terdapat jiwa-jiwa yang resah yang tetap memupuk optimisme perubahan yang dikehendaki. Meskipun pada sisi lain, ruang bagi kelompok yang mengusung motivasi perubahan ini, masih terlalu sempit. Hal ini akibat oligarki dalam tubuh partai politik (parpol) masih sangat dominan. Mereka yang mengendalikan parpol adalah mereka yang memiliki relasi genealogis (garis keturunan) pemimpin atau pendiri partai, dan yang memiliki modal finansial yang kuat.
Kedua, volunturisme politik, terutama dikalangan kelas menengah. Keikutsertaannya hanya sekedar untuk mencoba peruntungan di Pileg ini. Saya lebih melihatnya sebagai sebuah petualangan belaka. Jadi jatuhnya “nothing to lose” aja. Terpilih alhamdulillah, tidak terpilih juga bukan masalah. Yang lebih parah, mayoritas dari kelas menengah ini hanya dimobilisasi untuk sekedar melengkapi dafar caleg disetiap daerah pemilihan. Ini bisa dikonfirmasi dengan ketidaksiapan mereka melakukan pendaftaran di KPU. Hampir semua partai mendaftar di hari terakhir, batas waktu yang ditetapkan KPU. Artinya, keterlambatan susunan daftar bakal caleg, tidak semata-mata karena nomor urut, tetapi juga akibat sulitnya mencari orang, khususnya perempuan yang diwajibkan memenuhi quoto akibat kebijakan afirmasi (affirmative action).
Ketiga, mengamankan bisnis. Pengusaha banyak bertransformasi menjadi politisi. Tentu ada alasan mendasar dibaliknya. Dugaan kuatnya adalah untuk mengamankan kepentingan bisnisnya. Logika politiknya sederhana. Dengan berada di DPRD, kontrol terhadap kebijakan yang menguntungkan bisnisnya, akan lebih mudah dilakukan. Dalam hal penyusunan regulasi ditingkat lokal misalnya. Intervensi terhadap proses penyusunan norma dalam setiap peraturan daerah (Perda) yang dibuat, akan jauh lebih efektif dibanding jika mereka berada di luar. Pola lama yang digunakan dengan membangun sekutu politik bersama anggota DPRD, bisa jadi dianggap jusru lebih mahal dan tidak memberikan kepastian. Kepentingan bisnis, tentu tidak hanya datang dari pengusaha. Sebab, terdapat banyak wajah pelaku bisnis. Ada yang diam-diam membangun bisnis, ada yang join dengan bisnis tertentu, hingga para calo-calo yang suka memainkan pesta pengaturan kebijakan lalu lintas anggaran.
Keempat, soal prestise. Dalam struktur sosial masyarakat kita, budaya feodal yang mengagung-agungkan status sosial, masih sangat kental. Dan salah satu “kasta” yang dianggap terhormat adalah jabatan sebagai anggota DPRD. Ini tidak bisa dibantah. Tetapi ada distorsi selama ini. Tidak banyak anggota DPRD yang menyadari bahwa mereka sesungguhnya menerima mandat yang berat dari rakyat. Mereka dipilih untuk berjuang demi kepentingan rakyat. Diri pribadi mereka sesungguhnya telah dihibahkan 100 persen untuk kepentingan rakyat. Namun tak jarang anggota DPRD dengan bangga menjual pengaruh jabatannya (trading in influence) untuk kepentingan pribadi. Mulai dari minta dilayani istimewa, diutamakan dalam segala hal, merasa paling benar, hingga datang ke kampung-kampung dengan permintaan agar diperlakukan bak seorang raja.
Kelima, daya tarik finansial. Pendapatan atau gaji anggota DPRD ditingkat Provinsi, berkisar 60-an juta sebelum dipotong pajak. Ini tentu saja hal yang cukup menggiurkan, terutama mereka yang berburu rente ekonomi. Tetapi mesti kita ingat, rente ekonomi anggota DPRD tidak hanya berasal dari gaji semata. DPRD dalam struktur pemerintahan daerah, memilki kuasa dalam pembahasan lalu lintas anggaran daerah. Faktualnya, dengan mengacu ke beberapa kasus, lalu lintas anggaran melalui APBD ini juga dijadikan bancakan ekonomi. Modus umumnya, dibungkus melalui topeng dana aspirasi, permainan fee dari penentuan penerima bansos dan hibah, mark-up anggaran, hingga turut bermain langsung ke sejumlah proyek-proyek tertentu.
Faktor atau motivasi yang “ketiga”, “keempat” dan “kelima” ini yang paling rentan dengan politik uang dalam politik elektoral ini. Demi prestise dan iming-iming gaji besar, akan merusak nalar berpikir kita. Mereka yang terdorong untuk bertarung di Pileg 2019 nanti akibat tiga faktor tersebut, bisa jadi akan menghalalkan segala cara. Terlebih jika mereka memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi atau finansial yang memadai. Memang ada yang salah dengan arah politik kita hari ini. Ketika mayoritas calon anggota legislatif, mengumbar modal, mengedepankan kekuataan finansial, tentu ada yang salah dengan cara berpolitik kita. Ada yang menyiapkan satu truk jam dinding, mencetak ribuan kalender, dan beragam souvenir lainnya. Ini bukan pasar, bukan tempat berdagang. Khittah politik sebagai alat memperjuangkan kepentingan rakyat, mesti dikembalikan kejalurnya. Rakyat mesti dididik dengan visi, misi, dan program yang mampu menjawab tuntutan kesejahteraan mereka. Bukan dengan jalan pintas berdasarkan modal finansial. Sebab tidak akan pernah ada “pendidikan politik” jika modal finansial yang dikedepankan. Jadi stop tipu-tipu rakyat dengan uang. Berkompetisilah dengan nalar dan pikiran.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Kaltim Post, edisi Kamis 26 Juli 2018.
Leave a Reply