Hingga saat ini, kasus meninggalnya manusia (anak) dibekas lubang tambang, masih menjadi isu hangat ditengah masyarakat yang tak kunjung selesai diperbincangkan. Setidaknya ada dua alasan, mengapa kasus lubang tambang ini masih menjadi buah bibir masyarakat. Pertama, korban yang terus berjatuhan. Bahkan kini meluas di daerah lain, khususnya di Kabupaten Kutai Kartanegara. Situasi ini seakan menghantui pikiran masyarakat. Siapa lagi korban berikutnya yang akan menyusul? Kira-kira begitu pertanyaan yang mendekam dikepala setiap warga. Kedua, cara penyelesaian kasus yang tak kunjung memuaskan dahaga keadilan bagi masyarakat. Ada apa dengan sistem hukum kita? Apa yang salah sehingga hukum nampak tidak berkutik dihadapan kasus-kasus lubang tambang ini?
Secara keseluruhan, sejak tahun 2011 hingga tahun 2015, terdapat 19 korban dibekas lubang galian tambang di Kalimantan Timur. 13 orang di Kota Samarinda dan 6 orang di Kabupaten Kutai Kartanegara. Pada tahun 2015 yang lalu, terdapat 4 orang anak yang menjadi korban lubang tambang di Samarinda, yakni Ardi (11), M Yusuf Subhan (13), Aprilia Wulandari (13) dan Koko Tri Handoko (16). Dari 4 kasus di tahun 2015 tersebut, 2 kasus dihentikan yakni kasus Ardi (korban ke-10) dan kasus Koko (korban ke-13). Dalam keterangan resmi hasil tangkapan Polresta Samarinda selama 2015, yang disampaikan oleh Kapolresta Samarinda, Kombes Pol M. Setyobudi Dwiputro, menyebutkan bahwa kasus Ardi dihentikan karena yang bersangkutan penyandang disabilitas, sedangkan kasus Koko dihentikan karena telah diselesaikan secara kekeluargaan (Sumber : Tribun Kaltim).
Penyandang Disabilitas
Dalam Convention On The Rights Of Persona With Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas), yang telah diratifikasi oleh Negara kita melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, secara eksplisit menegaskan bahwa tidak boleh sama sekali ada perlakuan yang berbeda dihadapan hukum, kepada para penyandang disabilitas. Dalam Pasal 12 ayat (1) kovenan tersebut menyebutkan bahwa, “Negara-negara pihak menegaskan kembali bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk diakui dimanapun berada sebagai seorang manusia dimuka hukum”. Kedudukan penyandang disabilitas dimuka hukum ini, semakin dikuatkan dalam Pasal 12 ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Negara-negara pihak wajib mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki kapasitas hukum atas dasar kesamaan dengan orang lain dalam semua aspek kehidupan”.
Frase kalimat “memiliki kapasitas hukum atas dasar kesamaan dengan orang lain” ini bermakna bahwa, dihadapan hukum, penyandang disabilitas dengan orang lain memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai subjek hukum. Penyandang disabilitas bukanlah orang gila, dan tentu saja tidak bisa dipersamakan dengan orang yang terganggu secara kejiwaan. Maka menjadi aneh ketika aparat kepolisian menghentikan kasus Ardi dengan alasan yang bersangkutan penyandang disabilitas. Mereka memiliki hak yang sama, sebagaimana orang lainnya. Penghentian kasus dengan alasan penyandang diabilitas, justru bertentangan dengan semangat yang terutang dalam bagian umum penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention On The Rights Of Persona With Disabilities, yang meyebutkan bahwa, “Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, juga dilindungi, dihormati, dan dipertahankan oleh Negara Republik Indonesia, sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan”.
Sebatas Kekeluargaan?
Penghentian kasus Koko (korban ke-13) dengan alasan telah diselesaikan secara kekeluargaan, tidak kalah menyita perhatian dengan penghentian kasus Ardi (korban ke-10) dengan alasan yang bersangkutan penyandang disablitas. Harus kita pahami bahwa kasus hilangnya nyawa manusia dibekas lubang tambang, bukanlah sekedar peristiwa perdata yang dikunci sebatas pemberian santunan. Sebab ini menyangkut “nyawa” manusia. Untuk itu, harus ada yang bertanggungjawab secara pidana. Secara prinsip, penyelesaian secara kekeluargaan dengan pemberian santunan, tidaklah menghapus tuntutan pidana terhadap pelaku. Menurut Pompe, penjatuhan pidana ditujukan untuk mempertahankan kepentingan umum. Walaupun ada pemaafan dari korban atau yang dirugikan, tuntutan pidana tetap diadakan, kecuali delik aduan.
Kasus hilangnya nyawa manusia dilubang tambang ini, bukanlah wilayah hukum privat. Tetapi masuk kedalam bingkai hukum publik, dimana Negara harus bertanggungjawab untuk memastikan kasus ini selesai, sekaligus sebagai bagian dari upaya untuk mempertahankan kepentingan publik. Menurut Van Bemmelen, bahwa dengan mengancam pidana tingkah laku manusia, berarti negara mengambil alih tanggungjawab mempertahankan peraturan-peraturan yang telah ditentukan. Tidak lagi diserahkan kepada orang pribadi. Dengan ditetapkannya ancaman pidana dalam masyarakat, maka negara memikul tugas menyidik dan menuntut pelanggaran peraturan yang berisi ancaman pidana . Artinya tidak ada alasan yang cukup bagi pihak Kepolisian untuk menghentikan kasus tersebut keranah pidana. Tidak hanya untuk kasus Ardi dan Koko, tetapi seluruh korban lubang tambang yang ada. Dengan cara demikianlah (penyelesaian secara pidana), maka Negara tetap dianggap hadir untuk mempertahankan kepentingan umum, sekaligus memberikan jawaban atas rasa keadilan masyarakat yang selama ini cenderung diabaikan.
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, Edisi Kamis 7 Januari 2016.
Heran dengan para polisi ini, sepertinya tidak punya perspektif dan keberpihakan terhadap rakyat dan lingkungan. Menghentikan kasus dengan alasan telah diselesaikan secara kekeluargaan, tidak bisa dibenarkan.
Benar mas, ada 19 kasus hilangnya nyawa manusia dibekas lubang tambang yang terjadi di Kalimantan Timur sejak tahun 2011-2015. Dan pada tahun 2015, sangat disayangkan ketika 2 kasus dihentikan di Samarinda. Satu karena alasa korban penyandang disabilitas dan satu lagi karena alasan sudah diselesaikan secara kekeluargaan. Hal ini sangat mengusik rasa keadilan masyarakat.
Alah jaman sekarang kalau mengandalkan polisi justru permasalahan akan semakin lama. Tidak akan pernah ditangani sebelum memberikan sebuah pelicin. Masak kasus yang demikian tidak diapa-apakan. Kan aneh?!
Setuju, apatisme terhadap institusi hukum ini menjadi gejala umum yang tengah berlaku ditengah masyarakat kita. Tetapi kita tetap harus terus berusaha mendorong agar mereka bisa bekerja untuk menjamin rasa keadilan masyarakat. Prinsipnya, ditengah masyarakat yang apatis, harus tetap ada yang optimis.
Selama regulasi dan mental para pejabat dan aparat yang korup selama itu pula akan ada korban-korban seperti tulisan diatas, karena jika perusahaan tambang mengikuti segala peraturan UU dan mengerti dan menjalankan pedoman safety, health and enviroment maka kejadian itu dapat di cegah. BTW thanks untuk templatenya Mas Hamzah
Yup, benar. Banyak aspek yang harus kita dorong untuk diperbaiki. Tidak hanya soal aparat penegak hukumnya yang lemah perspektif (baca : keberpihakan), tetapi juga soal regulasi yang masih terlalu banyak cela. Sama2, semoga templatenya bermafaat.
bang apakah website ini sudah terdaftar di google adsense?
Sebenarnya belum. Tapi akun GA lama saya koneksikan dengan blog ini.
pak bikin tentang penulis disetiap akhir artikel itu bagaimana caranya pak? beserta isi dari deskripsinya
Itu bawaan template mas. Tapi bisa dipasang sendiri dengan plugin wordpress. Di googling aja, author plugin for wordpress.