
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), setidaknya telah meloloskan 12 (dua belas) orang mantan narapidana korupsi menjadi bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sementara beberapa sengketa yang sedang berproses, akan segera diputuskan dalam waktu dekat (Republika). Putusan Bawaslu ini dianggap bertolak belakang dengan sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak meloloskan mantan naripada korupsi dalam daftar Bacaleg. Walhasil, situasi ini mengesankan kedua lembaga penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) ini, justru sedang bersengketa. Pusaran polemik kasus ini seakan hanya melibatkan KPU dan Bawaslu secara vis a vis. Padahal kita lupa bahwa sesungguhnya hilir masalah dari polemik ini ada ditangan Partai Politik (Parpol).
Pertanyaan kuncinya adalah, apa motivasi parpol untuk tetap mencalonkan mantan terpidana korupsi ini? Parpol jangan pura-pura amnesia dengan menyebut lolosnya mantan napi korupsi akibat kealpaan. Toh kalaupun itu (tidak) disengaja, parpol mestinya melakukan evaluasi terhadap mantan napi korupsi ini dalam pencalegan, dan segera mencaoretnya dalam daftar. Apa sesungguhnya pangkal masalah dari situasi ini? Bagaimana jalan keluar yang mesti diambil agar masalah ini tidak berlarut-larut? Siapa pihak yang bertanggungjawab terhadap makin runyamnya situasi ini? Tulisan pendek ini hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, agar kiranya kita semua dapat bergerak maju, tanpa harus lagi menyajikan tontonan yang sama sekali tidak menari bagi publik.
Mengurai Masalah
Sejak awal penyusunan dan pembahasan, 2 (dua) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), yakni PKPU 14/2018 tentang Pencalonan Anggota DPD dan PKPU 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, sesungguhnya telah menuai polemik dan perdebatan yang sangat alot. Pangkal masalahnya adalah larangan bagi mantan terpidana korupsi, beserta bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak, untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Pada mulanya, PKPU 20/2018 yang diajukan kepada kemenkumham untuk diundangkan dalam lembaran negara, memang secara tegas mencantumkan larangan bagi mantan terpidana korupsi sebagai syarat bakal calon. Norma ini tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h.
Jika dibaca secara letterlijk, norma ini tentu bertentangan dengan peraturan di atasnya, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), khususnya Pasal 182 dan Pasal 240. Namun setelah mengalami sinkronisasi dan penyesuaian sebelum diundangkan dalam lembaaran negara, maka ketentuan mengenai larangan mantan tepidana korupsi yang sebelumnya dijadikan sebagai syarat bakal calon, akhirnya dirubah menjadi syarat pengajuan bakal calon. Artinya, larangan bagi mantan terpidana korupsi dibebankan kepada Parpol untuk diseleksi secara demokratis. Dan ketentuan ini tidaklah bertentangan dengan UU Pemilu sebagai aturan payungnya (umbrella act).
Namun harus dipahami, dalam lalu lintas perundang-undangan, sebuah produk hukum dianggap sah dan mengikat setelah diundangkan, termasuk PKPU yang masuk dalam kategori peraturan perundang-undangan yang berlaku keluar. Bukan peraturan yang mengatur dirinya sendiri secara internal. Artinya, setelah PKPU ini diundangkan dan dicatat dalam lembaran negara, seharusnya perdebatan mengenai isi dalam PKPU, seharusnya dihentikan. Jikalaupun ada pihak yang merasa dirugikan dengan pemberlakuan PKPU ini, maka forumnya perdebatannya harus dikanalisasi melalui lembaga peradilan.
Dalam hal ini melalui Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewenangan untuk melakukan uji materi semua produk hukum di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Namun perdebatan mengenai caleg mantan napi korupsi ini kembali ramai diperbincangkan, pasca putusan Bawaslu yang mengabulkan gugatan mantan terpidana korupsi yang sebelumnya dicoret oleh KPU dalam daftar calon baik DPD, DPR maupun DPRD. Dan itu dengan jumlah yang tidak sedikit, bahkan diperkirakan akan terus bertambah, mengingat masih terdapat sengketa lainnya yang sedang dalam proses sidang ajudikasi di Bawaslu.
Ada kesan, Bawaslu mencoba membangun penafsirannya sendiri terhadap ketentuan PKPU. Jika melihat putusan Bawaslu yang mengabulkan gugatan sengketa dari mantan terpidana korupsi, maka sangat sulit untuk tidak mengatakan Bawaslu sedang mengambil sikap oposisi terhadap KPU dan PKPU yang dibuatnya. Ini yang nampak ganjil dan menggelitik. Padahal salah satu tugas bawaslu itu kan mengawasi pelaksanaan PKPU. Tetapi ini justru nampak mengambil posisi yang berseberangan. Lebih parahnya, Bawaslu dianggap melindungi koruptor akibat putusan-putusannya. Ini situasi yang tidak sehat dan dikhawatirkan berimplikasi kepada citra pemilu dan penyelenggaranya. Tapi bagaimanapun, perdebatan ini harus dikunci pada aspek kebutuhan akademis saja. Kompetensi penilaian terhadap suatu produk hukum, tentu saja berada di lembaga peradilan.
Jalan Keluar
Untuk menjawab polemik ini, setidaknya terdapat 2 (dua) jalan keluar. Pertama, menagih komitmen Partai Politik (Parpol). Sangat menarik dengan apa yang dilakukan oleh Partai Perindo terhadap bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) mantan eks koruptor yang diloloskan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam sidang ajudikasi (Kompas). Perindo berjanji akan mencoret bacaleg yang maju dari partainya tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh PKS, yang berkomitmen mencoret daftar bacalegnya yang berstatus mantan terpidana korupsi, termasuk yang telah diputus dalam sengketa Bawaslu (Kompas). Pilihan untuk mencoret bacaleg eks napi korupsi ini, sejatinya tebilang terlambat. Tetapi langkah parpol ini harus diapresiasi, mengingat parpol adalah saringan pertama untuk membangun kader-kader yang berintegritas. Publik menanti langkah yang sama dari parpol lain. Jika ini dilakukan oleh semua parpol tanpa terkecuali, maka polemik ini tentu saja bisa segera diakhiri.
Kedua, menunggu putusan Mahkamah Agung (MA). Penilaian terhadap produk hukum, terutama terhadap pertentangan norma (conflict of norm), bukanlah kompetensi Bawaslu, tetapi mutlak menjadi kewenangan penuh lembaga peradilan, dalam hal ini MA. Dalam kasus ini, PKPU 14/2018 dan PKPU 20/2018 yang dianggap bertentangan dengan UU 7/2017, menjadi kompetensi MA untuk mengujinya. Prinsipnya, kententuan dalam kedua PKPU tersebut dianggap berlaku, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh MA.
Hal ini juga secara eksplisit diatur dalam pasal 76 ayat (1) UU 7/2017 yang menyebutkan bahwa, “Dalam hal Peraturan KPU diduga bertentangan dengan Undang-Undang ini, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Bahkan Bawaslu sendiri sebenarnya punya legal standing untuk mengajukan uji materi terhadap PKPU jika dianggap memberikan kerugian secara langsung terhadap lembaganya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 76 ayat (2) UU 7/2017, yang menyatakan bahwa, “Bawaslu dan/atau pihak yang dirugikan atas berlakunya Peraturan KPU berhak menjadi pemohon untuk mengajukan pengujian kepada Mahkamah Agung”.
Polemik ini segera harus diakhiri dengan mengambil pilihan jalan keluar di atas. Parpol tanpa terkecuali, harus segera mencoret bacaleg mantan terpidana korupsi, baik yang gugatannya telah diputus Bawaslu ataupun yang belum atau tidak mengajukan sengketa. Jika ada parpol yang masih kekeuh mempertahankan bacaleg mantan terpidana korupsi maka komitmennya patut dipertanyakan. Publik seharusnya mencatat dengan baik parpol mana saja yang abai dengan upaya meciptakan kader-kader berintegritas ini. Sementara bagi lembaga penyelenggara, dalam hal ini Bawaslu, hendaknya menunggu putusan uji materi terhadap PKPU. Untuk sementara waktu, Bawaslu sebaiknya tidak menerima pengajuan sengketa dari para mantan terpidana korupsi yang sebelumnya pencalonannya dibatalkan oleh KPU, sembari menunggu putusan MA.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Kaltim Post, edisi Jum’at 07 September 2018.
Leave a Reply