KPU baru saja mengeluarkan rilis terkait respon atas rekomendasi Bawaslu terhadap pelanggaran administrasi pemilihan, yang berujung sanksi pembatalan pasangan calon di Kutai Kartanegara. Namun dalam rilis yang disampai KPU tersebut, terdapat kekeliruan mendasar, khususnya dalam menafsirkan kekuatan hukum dari rekomendasi Bawaslu.
Pertama, dalam menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu, KPU masih menggunakan ketentuan Pasal 18 PKPU Nomor 25 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum. Padahal kita tau PKPU tersebut sudah tidak relevan lagi karena dalam konsideran menimbang masih mengacu pada UU yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Apalagi PKPU tersebut memang spesifik diperuntukkan bagi pengaturan pelanggaran administrasi pemilu, bukan pilkada.
Perihal tata cara penanganan pelanggaran adminiatrasi pilkada, yang menjadi kewenangan mutlak Bawaslu, sudah diatur secara eksplisit dalam Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penanganan Pelanggaran Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Jadi KPU seharusnya tidak perlu melakukan upaya menggali, mencari, dan menerima masukan dari berbagai pihak untuk kelengkapan dan kejelasan pemahaman laporan Pelanggaran Administrasi Pemilu, sebagaimana disebutkan dalam PKPU tersebut.
Jadi KPU tidak bisa menggunakan PKPU 25 Tahun 2013. Sebab tidak relevan sama sekali untuk digunakan dalam menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu. “Ibarat orang yang sakit kepala, yang diminum justru obat sakit perut. Itupun obat sakit perut sudah kadaluarsa”.
Baca juga : Perihal Rekomendasi Bawaslu dan Pembatalan Paslon di Pilkada Kukar
Kedua, dalam rilis juga disebut akan melakukan klarifikasi kepada sejumlah pihak, yang mana klarifikasi tersebut akan dijadikan pertimbangan bagi KPU dalam mengambil keputusan nantinya. Ini juga overlap menurut saya, sebab kewenangan untuk membuat kajian dan klarifikasi atas pelanggaran, mutlak ada di tangan Bawaslu. Dan proses itu sudah dilakukan sebelum rekomendasi Bawaslu dikeluarkan. KPU mestinya hanya dalam kapasitas memeriksa kelengkapan dokumen secara administratif, sebagai landasan untuk mengambil keputusan. Kalaupun ada masalah dalam rekomendasi Bawaslu nantinya, maka mekanisme kontrol dan evaluasinya ada dalam sistem peradilan pasca rekomendasi itu dijalankan.
Ketiga, kekuatan hukum dari rekomendasi Bawaslu adalah wajib. Artinya, rekomendasi tersebut bersifat imperatif. Hal ini disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 10 huruf b1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang menyebutkan bahwa, “KPU dalam penyelenggaraan pemilihan wajib melaksanakan dengan segera rekomendasi dan/atau putusan Bawaslu mengenai sanksi administrasi Pemilihan”. Artinya, rekomendasi Bawaslu, hukumnya wajib untuk dilaksanakan oleh KPU. Apalagi dalam norma tersebut, derajat dan kedudukan “rekomendasi” disamakan dengan “putusan”. Jadi kalau KPU menafsirkan bahwa rekomendasi itu tidak wajib dilaksanakan, namun hanya ditindaklanjuti dengan kemungkinan keputusan yang berbeda, jelas itu adalah kekeliruan fatal.
Pendapat singkat ini sebelumnya sudah dimuat di Kaltim Post, Kaltim Today, dan Disway Kaltim. Sumber gambar : progres.id.
Leave a Reply