Pemerintah Provinsi dan DPRD Kaltim telah menyepakati dan memutuskan alokasi anggaran untuk mengatasi virus pandemik corona. Alokasi anggaran sebesar 388 miliar lebih itu, harus dipergunakan secara transparan dan akuntabel. Transparan dalam hal lalu lintas keluar masuk anggaran, dan akuntabel dalam hal pertanggungjawaban penggunaannya. Memang disebutkan soal dana itu akan digunakan untuk kepentingan apa saja. Tapi kan harus transparan dengan menjelaskan secara detail mengenai besaran alokasinya masing-masing dan diambil dari pos mana saja. Termasuk pula harus dijelaskan mengenai bentuk pertanggungjawaban penggunaan anggaran ini. Sebagai contoh, alokasi 250 ribu untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) itu, menggunakan alat ukur apa, sumber datanya darimana, dan apakah besaran bantuan itu memadai bagi masyarakat. Kan harus firm, sehingga penggunaan anggaran tidak hanya tepat sasaran, tapi juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Situasi krisis ini, mestinya membuat kita lebih mawas dan waspada. Tak ada yang meragukan niat baik Pemerintah, tapi tentu niat baik tersebut harus disertai dengan proses pengawasan yang ketat dan memadai. Salah satunya dalam soal lalu lintas penggunaan anggaran tersebut. Jangan euforia dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yang men-declare jika pembiayaan baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD), bukan merupakan bagian dari kerugian keuangan negara. Harus dipahami, jika pembiayaan dan penggunaan anggaran tersebut, tetap harus dipertanggungjawabkan dan masuk dalam mekanisme audit keuangan daerah. Apalagi frase “bukan merupakan kerugian keuangan negara” dalam ketentuan Pasal tersebut, sangat rentan dimanfaatkan oleh para penumpang gelap (free rider).
Jangan karena alasan Pasal 27 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 itu, pembiayaan dan penggunaan anggaran untuk penanganan Covid-19 itu jadi serampangan tanpa proses pengawasan yang ketat. Untuk itu, penggunaan anggaran harus akuntabel melalui sistem audit keuangan yang ketat. Audit keuangan tersebut, harus dilakukan secara berlapis. Karena itu, audit rutin yang dilakukan oleh BPK secara eksternal, terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) nantinya, harus diserta dengan audit yang sama secara internal baik oleh Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP) dan inspektorat sebagai Apparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Jadi mekanisme pengawasan penggunaan keuangan dapat berjalan, baik secara internal maupun secara eksternal.
Dilain sisi, panitia khusus (Pansus) percepatan penanganan Covid-19 yang dibentuk oleh Dewan DPRD Kaltim, harus dipahami sebagai bagian dari berjalannya fungsi pengawasan DPRD terhadap kebijakan kepala daerah. Tapi kerjaan pansus harusnya tidak sebatas memverfiikasi siapa yang layak menerima bantuan JPS dan PHK tersebut. Pansus juga seharusnya sekaligus difungsikan sebagai sentra informasi dan pengaduan bagi setiap warga terdampak kebijakan Covid-19 ini. Pansus juga harus mampu mengawasi lalu lintas penggunaan anggaran dari hulu ke hilir, sehingga penggunaan anggaran lebih mampu dikontrol sesuai dengan peruntukannya masing2. Pansus juga harusnya bisa bekerja untuk melakukan tracking ke Pemerintah daerah dan instansi terkait, mengenai sebenarnya seberapa banyak cadangan pangan dan energi yang kita miliki, serta bisa bertahan berapa lama. Itu juga yang mesti dikalkulasi, sehingga alokasi anggaran bisa dipersiapkan untuk menjawab kebutuhan pangan dan energi bagi masyakarat.
Pendapat ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim. Sumber gambar : Kompas.com.
Leave a Reply