“Are omnibus bills anti-democratic? No doubt about it”. Demikian kalimat pembuka Lorne Gunter dalam tulisannya di surat kabar harian Toronto Sun yang berjudul “Omnibus bills in Hill history” (Toronto Sun). Salah satu alasan tudingan anti demokrasi menurut Gunter, dikarenakan omnibus bills yang cenderung dibuat dan dibahas secara sembunyi-sembunyi tanpa debat atau pertanggungjawaban. Omnibus bills atau “omnibus law”, adalah istilah yang belakangan ini ramai diperbincangkan. Meski bukan hal baru, namun istilah omnibus law masih cukup asing ditelinga publik Indonesia. Dari sudut pandang Pemerintah, kata omnibus law pertama kali diucapkan oleh Presiden Jokowi pada saat pelantikan tanggal 20 Oktober 2019 silam. Kala itu, Presiden Jokowi menegaskan bahwa, konsep omnibus law akan menyederhanakan kendala regulasi yang selama ini cenderung berbelit dan panjang (Kompas).
Sejak saat itu, kata omnibus law ini menjadi sangat populer. Diperdebatkan dalam ruang-ruang diskusi ilmiah dan populer, hingga menuai respon penolakan dimana-mana. Usulan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja, yang belakangan nomenklaturnya dirubah menjadi RUU Cipta Kerja, terang saja mengundang polemik diberbagai kalangan. Pertanyaan krusialnya adalah, penolakan itu ditujukan kepada konsep omnibus law, atau terhadap substansi yang diatur dalam rancangan tersebut? Benarkah omnibus law tidak layak diadopsi sebagai sebuah metode dalam pembentukan regulasi, karena dianggap anti demokrasi? Pertanyaan-pertanyaan ini yang harus dijawab untuk memberikan perspektif berbeda dari yang selama ini ditelan mentah oleh mayoritas masyarakat.
Pilihan Pendekatan
Omnibus law berasal dari kata “omnibus”, yang dalam bahasa latin berarti, “untuk segalanya” (Wikipedia) atau dalam kamus bahasa Inggris berarti “menyediakan banyak hal sekaligus” (Dictionary). Omnibus law pada prinsipnya bukanlah sebuah kebijakan yang secara langsung (direct policy) dibuat oleh Negara, tetapi merupakan pilihan pendekatan (approach) atau metode (methode) yang digunakan dalam pembentukan regulasi. Pilihan penggunaan metode omnibus law ini, akan memangkas waktu penyusunan regulasi, yang biasanya memerlukan proses yang cukup panjang. Seperti kata pepatah, “sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui”. Demikianlah kira-kira semangat yang dibawa oleh konsep omnibus law ini. Jadi wajar saja ketika banyak kalangan yang menyebut omnibus law ini sebagai proyek “sapu jagat”.
Dalam prakteknya, omnibus law sendiri bukanlah hal yang baru. Dalam artikelnya yang berjudul “Omnibus Bills in Theory and Practice”, Louis Massicotte menyebut bahwa, di Amerika Serikat, omnibus law atau yang mereka sebut sebagai “omnibus bill”, dalam prakteknya sudah dikenal sejak tahun 1888, saat peristiwa penggabungan dua perjanjian kereta api yang terpisah (Canadian Parliementary Review). Omnibus bill sendiri menurut Massicotte, dengan mengutip Duhaime Legal Dictionary, diartikan sebagai rancangan undang-undang yang berisi lebih dari satu masalah substantif, atau beberapa masalah kecil yang digabungkan menjadi satu undang-undang (Massicotte, 2013).
Dalam perkembangannya, sebagaimana disebutkan oleh Lorne Gunther, omnibus bill ini mulai dikenal luas sejak kebijakan Pierre Trudeau, perdana menteri Kanada ketika itu, yang mendorong amandemen hukum pidana dengan pendekatan omnibus bill pada tahun 1968 (Toronto Sun). Di Indonesia sendiri, metode omnibus law bukanlah hal benar-benar baru. Mesti belum menggunakan peristilahan omnibus law, tetapi substansi dan semangat yang dibawa, sepenuhnya mengadopsi metode omnibus law ini. Sebagai contoh, apa yang diterapkan dalam penyusunan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). UU Pemda yang terdiri dari 411 Pasal tersebut, mencabut sejumlah sejumlah ketentuan yang berlaku sebelumnya, mesti tidak sebanyak ketentuan yang diusulkan dalam RUU Cipta Karya.
Anti Demokrasi
Ada anggapan bahwa metode pendekatan omnibus law dalam pembentukan regulasi, memiliki karakter yang anti demokrasi. Benarkah demikian? Bahkan anggapan anti demokrasi itu, justru berawal dari negara-negara tempat omnibus law lahir dan berkembang. Mengutip Lorne Gunter dalam kolomnya yang berjudul, “Omnibus bills in Hill history (Toronto Sun), resistensi publik terhadap praktek omnibus di Kanada terus meningkat akibat tudingan anti demokrasi yang dialamatkan kepada rezim Peirre Trudeau. Salah satu legislasi pertama Trudeau setelah menjadi perdana menteri Kanada pada tahun 1968 adalah Undang-Undang Amandemen Hukum Pidana. Publik menuding langkah Trudeau ini sebagai upaya untuk mengubah sifat Kanada secara sembunyi-sembunyi tanpa debat atau pertanggungjawaban yang tepat di Parlemen.
Karena ukuran dan cakupannya yang besar, pendekatan omnibus law cenderung membatasi peluang untuk debat dan pengawasan. Bahkan secara historis, pendekatan omnibus law terkadang digunakan untuk meluluskan amandemen yang kontroversial. Karena alasan inilah, beberapa orang menuding pendekatan omnibus law ini, memiliki karakter yang anti demokrasi. Ada beberapa alasan yang menguatkan tudingan tersebut, antara lain : Pertama, omnibus law membatasi ruang partisipasi publik. Karena proses yang relatif cepat, omnibus law mengabaikan partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang.
Kedua, omnibus law tidak transparan. Omnibus law cenderung menutup akses informasi kepada publik. Sepertinya Pemerintah menghindari kritik dan berharap RUU segera disahkan tanpa proses dialog yang terbuka. Ketiga, karena proses yang cepat demi mencapai target yang ditentukan, maka Pemerintah cenderung menggunakan pendekatan represif demi memastikan pembentukan RUU itu berjalan lancar dan terkendali. Keempat, metode omnibus law berpotensi mengabaikan proses formal dalam penyusunan RUU. Ada kekhawatiran pemebentukan undang-undang tidak berdasar kaidah formal dalam penyusunannya.
Kelima, minim legitimasi. Karena dibahas terbatas, dan mengabaikan partisipasi publik, maka sudah bisa dipastikan jika RUU yang dibuat berdasarkan pendekatan omnibus law ini, tidak memiliki legitimasi yang kuat dari publik. Padahal menurut Jeremy Bentham, kebaikan dan keinginan publik hendaknya menjadi tujuan legislator. Dengan melihat basis argumentasi tersebut, rasanya sulit untuk tidak mengatakan bahwa pendekatan omnibus law ini adalah ancaman nyata bagi demokrasi. RUU yang disodorkan berdasarkan pendekatan omnibus law, adalah produk persekongkolan para elit politik yang nir partisipasi publik, dibicarakan di ruang tertutup tanpa akses informasi yang memadai, dan cenderung represif terhadap kritik yang dilontarkan oleh publik.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Harian Tribun Kaltim, edisi Senin 09 Maret 2020. Dapat dibaca melaluin link berikut ini : Omnibus Law Anti Demokrasi.
Sumber gambar : Liputan6.com.
Leave a Reply