
Sudah tiga kali rencana revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) diusulkan. Rencana pertama pada tahun 2011, tetapi mendapatkan reaksi penolakan dari masyarakat luas dan pada akhirnya batal dilanjutkan. Kedua pada tahun 2015, juga dibatalkan akibat penolakan yang begitu massif dari masyarakat. Dan ketiga pada tahun 2016, namun kali ini dengan status ditunda atau tidak jadi dibahas disidang paripurna DPR sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Namun dengan catatan, Pemerintah dan DPR sepakat untuk mensosialisasikan RUU KPK tersebut terlebih dahulu. Kesepakatan penundaan ini berbeda dengan desakan publik agar pembahasan RUU KPK dibatalkan tanpa syarat.
Baca juga : Jejak Sejarah Korupsi Di Indonesia.
Pada tahun 2017 ini, rencana revisi UU KPK kembali mengemuka seiring dengan hebohnya pemberitaan kasus korupsi e-KTP, dimana puluhan orang anggota DPR dari Komisi II disebut-sebut menerima kucuran dana dari proyek tersebut. Namun tulisan ini tidak akan mengulas panjang mengenai e-KTP, kecuali keterhubungannya dengan rencana revisi UU KPK. Dalam hal ini, banyak kalangan yang menganggap mencuatnya kembali revisi UU KPK, tidak lepas dari reaksi balik (feedback) dari DPR akibat penanganan kasus e-KTP oleh KPK yang melibatkan anggotanya. Benarkah demikian? Tulisan ini akan mencoba mengupas kebenaran tendensi politik ini pada satu sisi, dan mengurai upaya pelemahan KPK melalui revisi RUU KPK pada sisi lainnya.
Politik Pelemahan
Sebagai catatan awal, terdapat 119 orang anggota DPR maupun DPRD yang diproses oleh KPK, sejak tahun 2005 hingga saat ini. Dan sejauh ini, setidaknya sudah 7 orang anggota DPR periode 2014-2019 yang ditangkap oleh KPK. Teranyar, puluhan anggota Komis II DPR periode 2009-2014, disebut-sebut dalam dakwaan jaksa penuntut umum dalam sidang kasus korupsi e-KTP yang masih berlangsung hingga sekarang. Ini tentu saja memberikan guncangan terhadap DPR. Walhasil, klarifikasi pembelaan bertubi-tubi hingga laporan pencemaran nama baik pun dilakukan oleh anggota DPR yang namanya disebut dalam dakwaan. Meski terdapat beberapa anggota DPR yang mengembalikan dana e-KTP, yang nama-namanya belum disebutkan KPK, namun tentu saja kasus ini akan tetap bergulir tanpa menggurkan proses pidananya.
Disaat yang bersamaan, rencana revisi UU KPK kembali mengemuka. Apakah ini kebetulan? Tidak. Jelas disaat puluhan anggota DPR disebut dalam dakwaan dan berpotensi diusut oleh KPK, rencana revisi UU KPK tentu saja menjadi posisi tawar (bargaining position) yang cukup ampuh. Rencana revisi ini, bisa disebut sebagai tindakan kolektif DPR untuk menyandera KPK agar tidak menyentuh anggota-anggotanya yang disebut dalam dakwaan. Jadi agak berat rasanya untuk tidak mengatakan bahwa mencuatnya kembali rencana revisi UU KPK, adalah reaksi balik dari DPR akibat beragam kasus korupsi yang menimpa anggotanya. Dugaan ini semakin diperkuat dengan draft revisi UU KPK yang justru makin melemahkan KPK, bukan sebaliknya. Pertanyaan selanjutnya, apakah ini kepentingan DPR semata? Bukan. Rencana revisi UU KPK yang melemahkan KPK ini, membuka ruang kolaborasi antara para koruptor, teman-temannya koruptor dan yang akan jadi koruptor. Ini jelas membuka jalan bagi terjadinya suap politik (political bribery), dimana pihak yang berkepentingan terhadap pelemahan KPK, akan memberikan imbalan kepada DPR yang memiliki kewenangan sebagai pembentuk undang-undang.
Pelemahan KPK
Perubahan itu mutlak, termasuk perubahan terhadap produk regulasi yang dianggap dapat menguatkan keberlakuannya. Namun dalam kasus revisi UU KPK, justru terjadi sebaliknya. Dari draft revisi UU KPK yang beredar, terdapat 4 (empat) poin usulan perubahan, yang justru melemahkan KPK, yakni : Pertama, mengenai penyadapan. Sepanjang tahun 2016, KPK telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) sebanyak 17 kali, dengan menetapkan 56 tersangka. Ini adalah rekor OTT terbanyak sepanjang sejarah keberadaan KPK. Dan semua orang paham, bahwa OTT tentu saja bertumpu kepada proses penyadapan. Artinya, penyadapan ini menjadi mahkota KPK selama ini. Dalam Pasal 12A ayat (1) huruf b, disebutkan bahwa penyadapan dilaksanakan atas izin tertulis dari dewan pengawas. Ini jelas hanya memperpanjang jalur birokrasi dan justru membuat proses penyadapan menjadi tidak efektif. Meski dalam pasal lainnya, yakni Pasal 12B ayat (1), disebutkan bahwa dalam keadaan mendesak penyadapan dapat dilakukan sebelum mendapatkan izin dewan pengawas, tetapi juga tidak dijelaskan makna keadaan mendesak itu secara terperinci.
Kedua, mengenai dewan pengawas yang diatur dalam Pasal 37A hingga Pasal 37E. Apa sesungguhnya urgensi dari dewan pengawas ini? Apakah lembaga baru tersebut akan memperkuat kinerja KPK? Justru sebaliknya, dewan pengawas hanya akan menciptakan matahari kembar dalam tubuh KPK. Dan itu berpotensi menimbulkan konflik dalam KPK. Jangan-jangan dewan pengawas ini adalah umpan agar KPK sibuk berkonflik internal sehingga lupa dengan tugas pokoknya dalam pemberantasan korupsi? Pertanyaan lainnya adalah, lantas siapa yang mengawasi pengawas? Apakah harus membentuk lembaga pengawas diatasnya lagi? Hal ini justru semakin memberikan kerancuan dalam sistem kelembagaan KPK. Ketiga, mengenai Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sebagaima diatur pada Pasal 40 ayat (1). Musabab tidak dikenalnya SP3 dalam proses penanganan perkara korupsi oleh KPK, agar dalam menangani kasus, KPK harus benar-benar merapkan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan tersangka. Faktualnya, sampai saat ini belum ada tersangka yang ditetapkan KPK yang lolos dari vonis hukuman. Artinya, dimasukkannya kewenangan SP3 ini, tidak cukup alasan untuk melakukan koreksi terhadap KPK.
Keempat, mengenai penyelidik dan penyidik KPK. Dalam draft revisi UU KPK belum mengatur pengangkatan penyelidik dan penyidik independen sebagaimana kebutuhan KPK selama ini. Terlebih kebutuhan tersebut untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest), khususnya ketika KPK menangani kasus yang melibatkan anggota kepolisian dan kejaksaaan. Sekali lagi, dengan argumentasi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa draft revisi UU KPK tersebut, adalah pelemahan KPK secara sistematis. Maka pembahasan revisi ini harus segera dihentikan dan dihapus dari program legislasi nasional jangka panjang tahun 2015-2019. Jika terus dilanjutkan, maka publik menemukan alasan yang kuat dalam memberikan sokongan kepada KPK untuk menolak rencana revisi UU KPK tersebut secara massif.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, edisi hari jumat 31 Maret 2017. Dapat dibaca di Sini.
Terimakasih atas pencerahannya pak. Korupsi dimana-mana, kapan bangsa ini maju.
Terimakasih kembali. Harus ada yang tetap optimis ditengah mereka yang pesimis. Harus ada yang tetap menjaga akal sehat ditengah ketidakwarasan. Kuncinya saling menguatkan dalam solidaritas. Kita kuat karena bersatu.