Pidato kenegaraan Presiden pada tanggal 16 Agustus 2021 dalam sidang paripurna tahunan MPR-RI, menuai banyak kritikan. Banyak kalangan yang beranggapan jika pidato kenegaraan tersebut, tidak secara komprehensif mengurai dinamika dan problematik Bangsa kita selama satu tahun belakangan ini. Pidato kenegaraan ini sendiri merupakan “konvensi ketatanegaraan” yang menjadi kebiasaan sejak lama (Sumber : Hukum Online). Tidak ada aturan tertulis mengenai pidato kenegaraan ini. Apalagi dalam sistem presidensial yang kita anut hari ini, Presiden tidak bertanggungjawab kepada MPR. Namun karena praktek pidato kenegaraan ini sudah dilakukan sejak lama, maka telah menjadi kebiasaan yang bisa kita sebut sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan. Karena itu, pidato kenegaraan telah menjadi rutinitas tahunan yang menjadi kebiasaan negara kita, yang lazimnya akan dilanjutkan dengan pidato pengantar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan nota keuangan untuk tahun berikutnya.
Baca juga : Jejak Sejarah Korupsi Di Indonesia
Inkonsisten
Dalam pidato kenegaraan tahun 2021 ini, Presiden memang tekesan hanya fokus kepada isu pandemi Covid-19 dan aspek kesehatan warga negara. Bahkan dalam pidato kenegaraan tersebut, Presiden menyebut kata “pandemi” sebanyak 31 kali, kata “Covid-19” sebanyak 9 kali, dan kata “Kesehatan” sebanyak 19 kali (Sumber : Tirto). Pilihan diksi yang disebutkan secara berulang-ulang ini, menggambarkan bagaimana agenda prioritas Pemerintahan yang akan dijalankan. Namun demikian, sebagai agenda prioritas, rasanya urusan kesehatan dan penanganan pandemi Covid-19 justru tidak mendapatkan prioritas dalam hal anggaran. Dalam buku nota keuangan RAPBN 2022 anggaran untuk Kementerian Kesehatan sebagai leading sector penanganan pandemi Covid-19, justru menurun. Alokasi anggaran untuk Kementerian Kesehatan hanya sebesar 96,1 triliun, atau turun 45,5 persen dibanding APBN 2021 yang berjumlah 176 triliun (Sumber : Kata Data).
Baca juga : Parasit Perguruan Tinggi
Hal yang sama juga terjadi di sektor perlindungan sosial melalui Kementerian Sosial. Anggaran Kementerian hanya sebesar 78,3 triliun, atau mengalami penurunan 26 persen bila dibangkan outlook di tahun ini yang mencapai 106 triliun (Sumber : Kompas). Yang menjadi pertanyaan besar bagi publik adalah, bagaimana mungkin Presiden disebut memiliki prioritas terhadap sektor kesehatan dan penanganan pandemi Covid-19, jika justru rencana alokasi anggaran untuk Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial untuk tahun 2022, justru mengalami penurunan? Anehnya, alokasi anggaran untuk Kementerian Pertahanan dalam RAPBN 2022, justru mengalami kenaikan signifikan mencapai 13 persen, yang sebelumnya 118,19 triliun dalam APBN 2021 menjadi 133,92 triliun (Sumber : Kata Data). Padahal Kementerian Pertahanan sendiri, tidak memiliki korelasi secara langsung dalam upaya penanganan pandemi Covid-19.
Selain itu, pidato kenegaraan Presiden juga seperti “cherry picking” yang cenderung hanya menyajikan potongan fakta yang menguntungkan selera subjektifnya saja, tanpa menguraikannya secara utuh. Sebagai contoh, Presiden mnemang menyebut BPK, MA, MK, dan KY, dalam pidato kenegaraannya. Namun Presiden hanya menyinggung kecepatan respon penanangan perkara dengan sistem peradilan berbasis elektronik. Presiden sama sekali tidak menyinggung soal obral diskon hukuman bagi para koruptor yang marak belakangan ini. Bahkan menurut ICW, dalam kurun waktu 2019-2020 sebanyak 134 terdakwa korupsi dibebaskan ataupun dipangkas hukumannya oleh pengadilan. Sedangkan untuk periode Januari-Juli 2021 ini, setidaknya terdapat lebih dari 10 terdakwa korupsi yang hukumannya dipangkas, baik di tingkat Pengadilan Tinggi maupun di MA (Sumber : Kompas).
Pidato Kosong
Dalam pidato kenegaraan ini, terdapat banyak isu yang “kosong” atau sama sekali tidak dibahas oleh Presiden. Berikut saya uraikan beberapa diantaranya. Pertama, pidato Presiden kosong dengan isu korupsi. Dalam pidato kenegaraan ini, Presiden hanya menyebut kata “korupsi” untuk mengucapkan rasa terima kasih atas dukungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini. Namun Presiden justru abai dengan apa yang terjadi dengan KPK. Operasi pelumpuhan KPK, baik dari luar maupun dari dalam, luput dari prioritas Presiden. Padahal kita semua paham, selama ini KPK menjadi simbol perlawanan publik terhadap korupsi. Penyingkiran orang-orang baik dengan dalih Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), keberatan pimpinan KPK terhadap hasil pemeriksaan Ombudsman, hingga temuan KomnasHAM terkait pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK, seolah bukan hal yang urgen dimata Presiden. Bahkan penururan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sebanyak 3 poin, dari skor 40 menjadi 37 pada tahun 2020, juga tidak mendapat respon sama sekali dari Presiden.
Baca juga : Musim Diskon Hukuman Koruptor
Kedua, pidato Presiden kosong dengan isu HAM. Tidak ada satu kalimatpun yang berkaitan dengan isu penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Ini membuktikan kalau Pemerintahan hari ini memang tidak memiliki prioritas sama sekali terhadap isu HAM. Bahkan orang-orang yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat, justru diberikan penghargaan dan tempat yang nyaman dalam lingkaran Pemerintahan. Salah satu yang kontroversial adalah pemberian penghargaan “Bintang Jasa Utama” kepada mantan milisi pro-integrasi Timor Timur, Eurico Guiterres. Padahal dalam catatan Amnesty Internasional Indonesia, Eurico merupakan terduga pelaku pelanggaran HAM di Timor Leste pada tahun 1999 (Sumber : VOA Indonesia). Namun bukan kali ini saja Pemerintah memberikan penghargaan dan posisi strategis terhadap para terduga pelanggar HAM. Nama Prabowo, Wiranto, dan A.M. Hendropriyono, yang diduga menjadi aktor pelanggar HAM masa lalu, diberikan posisi strategis dalam Pemerintahan (Sumber : Tempo). Pertanyaannya, bagaimana mungkin Pemerintah disebut memiliki komitmen kuat terhadap perjuangan HAM, jika para terduga pelanggar HAM tersebut justru diberikan posisi strategis dalam Pemerintahan?
Ketiga, pidato Presiden kosong dengan isu Masyarakat Hukum Adat. Yang tidak kalah memprihatinkan adalah pemandangan Pakaian Adat Suku Baduy yang dikenakan Presiden saat menyampaikan pidato kenegaraan. Bukan soal pakaian adatnya, namun ketegasan komitmen Presiden terhadap perlindungan masyarakat adat yang sama sekali tidak tercermin dalam isi pidato tersebut. Bagaimana mungkin seorang Presiden yang mengenakan simbol adat, namun justru luput bicara soal perlindungan masyarakat hukum adat? Bahkan hingga saat ini, RUU Masyarakat Hukum Adat, tidak kunjung dibahas disahkan oleh DPR dan Pemerintah. Padahal RUU ini sudah diusulkan sejak tahun 2009, yang berarti sudah dibiarkan terkatung-katung kurang lebih 12 tahun lamanya (Sumber : Tempo). Jangan sampai perampasan tanah dan hutan masyarakat hukum adat terus terjadi untuk kepentingan bisnis. Yang pasti, pidato kenegaraan Presiden ini benar-benar kosong dalam banyak hal yang dibutuhkan oleh Rakyat Indonesia.
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Disway Kaltim, edisi Senin 23 Agustus 2021. Sumber gambar : Tempo.co.
Leave a Reply