The world is big enough to satisfy everyone’s needs, but will always be too small to satisfy everyone’s greed (Dunia cukup besar untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tapi akan selalu terlalu kecil untuk memuaskan keserakahan orang). Demikian kata bijak Mahatma Gandhi yang kesehohor itu. Keserakahan dan korupsi adalah dua hal yang saling bertalian satu sama lain. Orang boleh pandai setinggi langit dan berpengetahuan seluas alam semesta, tetapi di bawah kendali keserakahan, ia tak ubahnya seonggok sampah yang tak pantas kita puja dan puji. Anda boleh melahap sepeti buku-buku tentang keadilan dan selemari teori-teori tentang kemanusiaan, tetapi di bawah tabiat korupsi, Anda hanya akan menjadi borok bagi kemanusiaan. Kalian boleh berteriak lantang tentang keberpihakan dan menggemakan perubahan dimana-mana, tetapi di bawah kekekuasaan yang korup, kalian hanya akan menjadi sejarah kelam bagi kehidupan umat manusia. Lantas apakah korupsi itu soal mentalitas dan moralitas semata?
Baca juga : Korupsi Sumber Daya Alam.
Korupsi tentu saja bukan hanya soal mental dan moral. Tidak akan pernah diselesaikan dengan pelajaran agama semata. Tidak akan pernah cukup jika hanya dibahas di rumah-rumah ibadah saja. Pun tidak akan tuntas hanya dengan mengandalkan kebaikan seseorang belaka. Korupsi adalah kendali sebuah sistem ekonomi dan politik. Sistem yang tidak pernah menghargai kemanusiaan, sistem yang tidak akan pernah perduli dengan kehancuran alam, sistem yang hanya mengabdi kepada kepentingan modal, sistem yang hanya mendewakan profit, sistem yang hanya menjadi pelayan bagi kekuasaan, sistem yang berlindung dibalik jubah kesejaheraan tetapi sejatinya busuk, dan sistem yang hanya tunduk terhadap sekelompok orang-orang kaya. Menurut Jeffrey A. Winters, konon gap antara 40-50 orang kaya dengan orang-orang miskin di Indonesia, mencapai 630 ribu kali lipat (Sumber : Youtube). Kekayaan mereka tentu saja ditumpuk di atas derita Rakyat Miskin Indonesia.
Racun Korupsi
Menurut data Transparency Internasional (TI) Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption perception index) atau CPI Indonesia pada tahun 2016, berada pada angka 37 dari total poin 100. Indonesia menempati rangking 90 dari 178 negara (Sumber : TI). Jika melihat grafiknya, CPI indonesia mengalami peningkatan dibanding tahun 2015, meski hanya satu poin. Tetapi situasi ini tidak berbanding lurus dengan kelakuan para elit. Mereka tidak berubah. Lembaga-lembaga Negara, terutama DPR yang notabene representasi Rakyat, tak ubahnya seperti sarang para penyamun yang tiada jera merampok uang rakyat. Tidak ada prestasi disana, yang ada korupsi. Tidak ada perubahan disana, yang ada sibuk bertengkar karena perebutan jabatan. Tidak ada ketaatan mandat disana, yang ada menghamburkan uang rakyat. Tidak ada jera disana, yang ada antrian penjara. Maka menjadi hal yang wajar ketika mayoritas Rakyat Indonesia membuang kepercayaan dan menihilkan dukungan terhadap DPR dan Partai Politik (Parpol) sebagai penyokong utamanya.
Baca juga : Jejak Sejarah Budaya Korupsi di Indonesia.
Hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) yang dikeluarkan oleh Transparency Internasional, menempatkan lembaga legislatif, dari pusat (DPR-RI) hingga daerah (DPRD), sebagai lembaga terkorup, setidaknya selama 3 tahun terakhir (Sumber : TI). Hal ini disebabkan oleh 2 faktor. Pertama, kian banyaknya kasus korupsi yang menjerat anggota DPR dan DPRD. Tercatat sebanyak 122 anggota DPR dan DPRD yang sudah dipenjara karena kasus korupsi (Sumber : Liputan 6). Ini belum termasuk ribuan anggota DPR dan DPRD lainnya yang sedang menjali proses hukum dan menunggu vonis pengadilan. Kedua, kinerja DPR dan DPRD dalam menjalankan fungsinya (legislasi, pengawasan dan anggaran) serta upaya pemberantasan korupsi di internalnya yang tidak dilakukan secara serius. Yang ada justru persekongkolan jahat yang berujung tindak pidana korupsi. Bahkan berkali-kali DPR justru mengambil tindakan yang kontra produktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Mulai dari berkali-kali mengusulkan revisi Undang-undang KPK yang justru melemahkan lembaga anti rasuah tersebut, hingga penggunaan hak angket terhadap KPK yang terkesan mengada-ada.
Politik Rakyat
Secara keseluruhan, terdapat 122 anggota DPR dan DPRD, 25 menteri atau kepala lembaga, 4 duta besar, 7 komisioner, 17 gubernur, 51 bupati dan walikota, 130 pejabat eselon 1 sampai 3, dan 14 hakim, yang sudah dipenjarakan karena kasus korupsi (Sumber : Liputan 6). Dan tentu saja Parpol ditasbihkan menjadi pemenang. Parpol menjadi penyumbang mayoritas dari para peyamun yang dipenjara ini. Ada yang salah dari politik kita. Ada racun (toxin) yang harus di detoksifikasi, dikeluarkan dari mata rantai politik yang sarat dengan korupsi ini. Dan tentu saja yang paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah Partai Politik. Dampaknya, belakangan ini “politik” justru dicitrakan busuk oleh sebagahagia besar masyarakat. Kosakata politik tiba-tiba menjadi istilah yang menjijikkan. Bukan karena politik itu benar-benar busuk. Bukan pula karena politik itu abai dengan harapan kita. Tetapi karena tabiat kotor dari para elite politik yang telah menyelundupkan makna dan tujuan politik yang hendak diperjuangkan. Politik diterjemahkan dalam berbagai upaya dan dengan segala cara. Politik diucapkan dengan bau mulut kotor, yang aromanya tercium menyengat kemana-mana. Politik kini bertransformasi menjadi “oligarki”, dimana minoritas mengendalikan mayoritas, dan disaat yang bersamaan menguasai sumber daya material. Disinilah titik dimana korupsi menemui kematangannya.
Baca juga : Politik Jalan Pintas.
Sesungguhnya politik adalah seni. Seni memperjuangkan hidup dan kehidupan, seni bagi manusia untuk menjaga nalar kemanusiaan, seni memperjuangkan alam semesta dan seluruh isinya, seni mengelola kapal besar bernama negara agar tidak tenggelam, seni menjaga masa depan anak cucu kita, seni menjaga impian dan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi politik sesungguhnya tidak bisa kita hindari. Mengutip kata Nyoto, seniman Lekra sekaligus Menteri Negara dimasa Pemerintahan Orde Lama Sukarno, “Politik itu penting sekali. Jika kita menghindarinya, kita akan digilas mati olehnya. Oleh sebab itu dalam hal apapun dan kapan saja pun politik harus menuntun segala kegiatan kita“. Kita berdiri di tanah air kemerdekaan ini karena politik. Kita menjadi manusia bebas di bawah kolong langit karena politik. Kita bernafas menghirup udara alam jagad raya karena politik. Bahkan duduk diam berpangku tangan sekalipun adalah politik.
Tetapi tentu saja politik harus kita jalankan dengan arah dan tujuan yang terang. Politik harus diabdikan kepada prinsip-prinsip kemanusiaan yang tegas, diarahkan untuk mencapai manusia Indonesia yang bebas dari penghisapan, dan ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat. Sukarno menegaskan bahwa hal utama dan yang paling utama dalam tujuan politik bangsa indonesia adalah adalah perjuangan melawan penghisapan manusia atas manusia lainnya (exploitation de I’homme par I’homme), dan melawan penindasan bangsa atas bangsa lainnya (exploitation de nation par nation). Rintislah jalan perjuangan politik dengan tetap berpijak dan bersandar kepada kepentingan seluruh Rakyat Indonesia, serta memegang teguh prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Berpolitiklah tanpa KORUPSI!!!
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Tribun Kaltim, edisi Senin 30 Juli 2018.
Calon Sarjana says
Korupsi harus dilawan karena telah menghancurkan masa depan generasi bangsa kita.
Herdiansyah Hamzah says
Setuju. Tapi tidak cukup hanya dengan amarah. Mesti dirubah menjadi gerakan bersama.
Pandawa Lima says
Lawan korupsi!
Herdiansyah Hamzah says
Lawan!! Mari saling menguatkan dan menjadikannya gerakan yang massif dan meluas.