Debat kedua calon wakil presiden (cawapres), menyisakan banyak pertanyaan bagi publik. Sejatinya, tema debat kedua ini mengenai pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa. Dan salah satu isu yang tidak mampu terjawab dengan baik adalah soal “tambang ilegal”. Banyak pihak yang menyebut jika ketiga cawapres “gagal” dalam mengurai sekaligus menawarkan jalan keluar terhadap kejahatan tambang ilegal ini. Publik tentu berharap banyak dari para cawapres, terutama pemahaman mereka terhadap kejahatan tambang ilegal ini. Kejahatan yang berdampak sistemik, tidak hanya kepada ekosistem alam, tapi juga terhadap ekosistem manusianya.
Ketika moderator debat menanyakan perihal korupsi sektor pertambangan, pembalakan liar, termasuk perikanan ilegal, Mahfud MD misalnya, hanya meletakkan kebebasan informasi sebagai jawaban atas persoalan ini. Tidak salah, hanya kurang komprehensif sebagai sebuah solusi. Demikian juga dengan Muhaimin Iskandar yang hanya menyebut angka 2.500 titik tambang ilegal, tanpa memberikan solusi kongkrit bagaimana cara memberantasnya. Yang paling menggelitik justru pernyataan Gibran Rakabuming yang hendak memberantas tambang ilegal dengan cara mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP). Padahal tambang ilegal sendiri adalah kejahatan yang tidak berizin. Apa yang mau dicabut jika izinnya saja tidak punya?
Kejahatan Tambang Ilegal
Untuk memberantas tambang ilegal, syarat pertamanya tentu menyangkut pemahaman kita terhadap kejahatan ini. Ibarat orang yang hendak memenangkan peperangan, bergantung pemahamannya terhadap medan pertempuran. Lantas apa yang disebut sebagai tambang ilegal? Secara etimologis, ilegal merupakan segala sesuatu yang tidak legal, tidak menurut hukum, atau tidak sah[1]. Menurut Meriam Webster, ilegal adalah tidak menurut atau diizinkan oleh hukum, melanggar hukum, haram, atau tidak disetujui oleh aturan resmi[2]. Dalam Black Law Dictionary, illegal dimaknai sebagai perbuatan yang dilarang oleh hukum (forbidden by law) atau melanggar hukum (unlawful)[3]. Oleh karena itu, kejahatan tambang ilegal secara sederhana dapat dipahami sebagai aktivitas pertambangan yang dilarang atau tidak diizinkan menurut hukum yang berlaku.
Menurut rezim pertambangan di Indonesia, tambang ilegal ini disebut juga sebagai pertambangan tanpa izin (PETI). Dalam ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), disebutkan secara eksplisit bahwa, “Setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 miliar rupiah”. Tidak hanya itu, penadah tambang ilegal juga dapat dikenakan pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 161 UU Minerba, disebutkan bahwa, “Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 miliar rupiah.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri telah mengeluarkan rilis secara resmi melalui siaran pers terkait dengan data aktivitas tambang ilegal atau PETI pada tahun 2022. Menurut data Kementerian ESDM tersebut, terdapat lebih dari 2.700 lokasi PETI yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia[4]. Dari jumlah tersebut, terdapat 96 lokasi PETI batubara dan 2.645 PETI Mineral, berdasarkan data tahun 2021. Dan jumlah ini dipastikan terus bertambah, terlebih lagi menjelang Pemilu 2024. Terakhir, Plt Ditjen Minerba ESDM, bahkan menyebut jumlah PETI hingga akhir 2023 sudah mencapai 2.741 Lokasi[5]. Ini adalah kondisi yang sangat mengkhawatirkan, oleh karena perlu keseriusan dan komitmen kuat untuk memberantas kejahatan ini.
Melawan Tambang Ilegal
Tambang ilegal bukanlah perkara baru. Sudah berlangsung lama tanpa mampu diberantas. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses penanganan kejahatan tambang ilegal ini. Pertama, Aparat Penegak Hukum (APH). Tumpuan utama terhadap penegakan hukum atas kejahatan tambang ilegal ini, tentu berada di pundak APH. Ada tidaknya efek jera (deterrent effect) tergantung dari seberapa serius APH dalam melakukan upaya penegakan hukum. Namun sudah bukan rahasia umum jika APH sendiri mendapatkan kritikan tajam dari publik akibat lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku tambang ilegal. APH cenderung permisif terhadap kejahatan yang makin masif dan meluas ini. Bahkan oknum-oknum APH terindikasi kuat terlibat dalam bisnis haram ini. Dalam satu perkara tambang ilegal yang melibatkan APH di Provinsi Kalimantan Timur, bahkan diduga memberikan setoran kepada beberapa petinggi Polri[6]. Namun sayang, hingga kini perkara tersebut justru dibiarkan menggantung tanpa ujung. Ini jelas mengecewakan publik.
Kedua, Pemerintah. Selama ini Pemerintah juga cenderung permisif terhadap kejahatan tambang ilegal ini. Bukan hanya Pemerintah Pusat, namun Pemerintah di Daerah tidak kalah permisif. Bahkan berlindung dibalik kewenangan sektor pertambangan yang tidak dimiliki lagi setelah diambil alih Pemerintah Pusat. Padahal jika serius, Pemerintah Daerah bisa secara aktif mendorong proses hukum terhadap kejahatan tambang ilegal ini dijalankan oleh APH. Pemerintah harus berdiri tegak membela kepentingan warganya. Bagaimana pencuri yang masuk ke dalam rumah dan menjarah milik kita, justru dibiarkan oleh Pemerintah? Diam membisu atas kejahatan tambang ilegal, berdampak hilangnya public trust.
Pada akhirnya perlawanan terhadap kejahatan tambang ilegal memang harus diletakkan kepada soliditas dan solidaritas antar warga. Tidak hanya diantara warga terdampak langsung tambang ilegal, namun termasuk semua manusia yang masih berpikir rasional. Sebab kejahatan tambang ilegal adalah masalah bersama. Oleh karena itu harus dilawan bersama pula. Berharap banyak dari APH dan Pemerintah, terbukti tidak mampu memberikan perubahan apa-apa. Hanya dengan kekuatan warga secara mandiri dan kolektif-lah, yang harus melahirkan perlawawan sekaligus memastikan proses hukum terhadap kejahatan ini dapat dilakukan secara konsisten baik oleh APH maupun melalui dorongan Pemerintah. Sebab pada dasarnya mereka harus bekerja untuk kepentingan warga, bukan kepentingan para pebisnis haram tersebut!
Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Koran Harian Kaltim Post, edisi jumat 26 Januari 2024. Sumber gambar : AP/M. Taufan CNBC.
[1] Sumber : https://kbbi.web.id/ilegal. Diakses pada tanggal 24 Januari 2024, Pukul 09.15 Wita.
[2] Sumber : https://www.merriam-webster.com/dictionary/illegal. Diakses pada tanggal 24 Januari 2024, Pukul 09.18 Wita.
[3] Bryan A. Gadner. 2004. Black’s Law Dictionary (Eighth Edition). Page.2182.
[4] Sumber : https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/pertambangan-tanpa-izin-perlu-menjadi-perhatian-bersama. Diakses pada tanggal 24 Januari 2024, Pukul 09.25 Wita.
[5] Sumber : https://www.minerba.esdm.go.id/berita/minerba/detil/20231208-serius-tangani-tambang-ilegal-ditjen-minerba-esdm-akan-bentuk-satgas. Diakses pada tanggal 24 Januari 2024, Pukul 09.33 Wita.
[6] Sumber : https://regional.kontan.co.id/news/video-viral-setoran-pengepul-batubara-kepada-pejabat-polri-ini-penjelasan-polda. Diakses pada tanggal 24 Januari 2024, Pukul 10.23 Wita.
Leave a Reply